Sing Kuat Udu Aku

“Sing kuat udu aku, nanging donga pangestune wong tuaku.” Yang kuat bukan aku, tapi doa restu orang tuaku.

tulisan bokong truk

Saat bertemu tulisan tersebut tadi siang di Jalan Kaliurang, hati saya langsung terasa mak dheg. Ia seperti menjadi pengingat yang halus tentang pencapaian. Betapa dalam hidup, saya dan mungkin juga Anda, sering sekali melupakan peran besar doa orang tua, dan merasa apa yang sudah kita capai selama ini adalah murni andil usaha kita. Kita sering menafikan doa orang tua dalam semesta keberhasilan hidup, melupakannya, dan menyingkirkannya ke dalam ruang yang amat jauh.

Dalam banyak hal yang kita lakukan, dalam bisnis, pendidikan, karier, pergaulan, jodoh, apa pun itu, doa orang tua akan selalu menjadi hal yang penting. Meminta doa restu orang tua bukanlah sekadar pelengkap ikhtiar, ia seharusnya menjadi ikhtiar yang utama. Doa restu orang tua selalu bisa, sangat bisa, memengaruhi keberhasilan dan kegagalan hidup.

Kalau suatu saat, kau gagal, remuk, dan menjadi pecundang, jangan-jangan bukan karena usahamu yang kurang keras, langkahmu yang kurang cerdik, atau persiapanmu yang kurang matang. Jangan-jangan kau melupakan satu hal penting, ridho orang tua. Ridho yang kepadanya, Tuhan ikut ridho.

Sebaliknya, kalau kita berjaya dan berhasil meraih apa yang kita cita-citakan, bisa jadi itu semua karena Tuhan mempermudah jalan kita melalui perantara doa tulus orang tua kita.

Maka, ingatlah, ada doa orang tua dalam setiap keberhasilan, ada tirakat orang tua dalam setiap kecemerlangan dan kecerdasan, dan ada laku prihatin orang tua di balik jalan mulus yang sering kita kira sebagai keberuntungan.

Bapak, Ibu, nyuwun pangapuro. Aku kemlinthi, aku rumongso iso, aku yak-yak’o.

Kelancaran dan Kebuntuan

Sejak memasuki perbatasan Jawa Tengah-Jogja, baru saya sadari bahwa saya tidak pernah berhenti di lampu merah. Di setiap perempatan yang ada lampu merahnya, saya selalu bisa jalan terus tanpa berhenti.

Dua lampu merah pertama menunjukkan tanda warna kuning berkedip, yang artinya para pengendara bisa terus melaju asal berhati-hati, sedangkan pada lampu merah berikutnya, kebetulan selalu dijaga polisi yang mempersilakan para pengendara dari arah Jogja dan sebaliknya untuk jalan terus sebagai bagian dari pengaturan rekayasa lalu-lintas arus balik.

Saya berseru girang pada Kalis yang membonceng di belakang. “Wah, enak ya, Lis. Dari tadi tiap ketemu lampu merah, kita nggak pernah berhenti. Jalan terus.”

“Iyo, Mas. Jarang-jarang ngene iki,” timpalnya.

Tentu saja saya menikmati momen-momen kelancaran arus jalan yang walau ramai namun tetap lancar karena tidak terganggu oleh lampu merah itu. Kegembiraan sejenak yang memang jarang saya rasakan tiap kali berkendara dari Magelang ke Jogja atau sebaliknya.

Namun, tak butuh waktu lama untuk mengubah kegembiraan yang saya rasakan itu menjadi semacam sesal yang menyebalkan.

Sampai di perempatan lapangan Dengung, seorang penjaja koran tampak duduk di dekat lampu merah dengan wajah termenung menyaksikan deretan kendaraan di depannya yang melaju lancar bahkan walau lampu masih merah karena memang ada petugas polisi yang mengatur agar kendaraan terus melaju.

Saya tercekat melihat pemandangan itu. Kegembiraan yang baru beberapa menit saya rasakan itu kemudian bergerak menjadi semacam beban.

Saya baru tersadar, bahwa arus lalu lintas yang lancar jaya tanpa pemberhentian lampu merah itu, secara tidak langsung merenggut ruang-ruang nafkah tidak sedikit orang. Salah satunya si pedadang koran yang duduk termenung itu.

Entah ada berapa banyak lagi pedagang koran, pengamen, penjual kanebo, penjual tahu, penjual salak, dan penjual-penjual lainnya yang harus merelakan ruang berdagangnya “hilang” karena kelancaran lalu lintas itu.

Betapa saya baru menyadari, bahwa “kelancaran” bagi satu orang adalah “kebuntuan” bagi orang yang lain.

Walau sebenarnya tak ada yang perlu saya sesalkan, namun saya tetap saja merasa bersalah karena ikut merayakan kelancaran arus lalu-lintas tanpa pemberhentian lampu merah itu.

“Aku jadi merasa aneh sekarang, Lis,” kata saya mencoba menjelaskan perasaan saya yang campur aduk. “Semoga kelancaran arus yang tadi kita rasakan itu hanya sebentar saja, ya.”

“Tidak usah kamu pikir, Mas, bisa stres sendiri nanti kalau kamu mikir hal-hal seperti itu,” kata Kalis.

Saya terdiam, berusaha mengikuti apa kata Kalis. Tampaknya, memang tidak seharusnya saya memikirkan hal-hal yang seharusnya biasa saja itu.

Kalau koran yang dijual oleh penjaja koran itu tak laku, itu hal yang biasa saja. Kalau ada penjual tahu yang sampai sore dagangannya hanya berkurang beberapa bungkus, itu hal yang biasa saja. Kalau ada penjual salak yang pulang hanya membawa uang 10 ribu sedangkan anak dan istrinya menanti dengan bayangan dia dapat banyak uang, itu hal yang biasa saja. Bahkan, kalau ada penjual kanebo yang terserempet truk hingga tewas karena dirinya tidak waspada dan tergelinjir saat berlari menyongsong jalanan, itu juga hal yang biasa saja.

Benar kata Kalis, saya bisa stres sendiri kalau terlalu memikirkan hal-hal yang biasa itu.

Kemalangan, kemiskinan, kenestapaan, peruntungan yang buruk, takdir yang kejam, bahkan maut yang tragis, semuanya adalah hal yang biasa.

Roda nasib masih dan akan selalu berwujud makhluk bertangan dingin. Dan kita semua harus terbiasa.

Ruko yang Tutup Saat Hujan

Sejak dari Mungkid, awan hitam di arah selatan sudah terlihat menggelayut dengan sangat jelas, pertanda bahwa perjalanan saya dan Kalis dari Magelang ke Jogja pasti akan bertemu hujan yang amat deras. Pertanda itu pula yang membuat saya sudah bersiap dengan singgah terlebih dahulu di Alfamart untuk membeli jas hujan, sebab jas hujan yang ada di jok motor saya hanya ada satu.

Hujan pada akhirnya datang, lebih cepat dari dugaan saya. Kami berdua baru sampai Taman Bambu Runcing saat hujan yang tadinya hanya gerimis tipis mulai berubah menjadi hujan yang sebenar-benarnya hujan.

Saya dan Kalis berhenti untuk memakai jas hujan di depan salah satu emperan toko yang sedang tutup. Entah toko apa, tapi yang jelas, keberadaan toko yang tutup itu menjadi kelegaan bagi saya, dan tentu saja juga bagi pengendara lainnya yang sama-sama menepi di toko yang sedang tutup itu.

Sebagian orang menepi untuk memakai jas hujan, sementara sebagian lagi, yang tak punya jas hujan, menepi untuk benar-benar berteduh dan menunggu hujan reda, atau setidaknya sampai rintik airnya bisa ditolelir untuk diterobos.

Saya memakai jas hujan plastik model ponco, sedangkan Kalis memakai jas hujan model celana. Ia tampak kerepotan memakai jas hujan miliknya, utamanya karena ia memakai tas berukuran cukup besar yang harus ia masukkan juga ke dalam jas hujan.

“Gimana, Lis? Menikah dengan Agus Mulyadi itu mudah dan menyenangkan, bukan?” goda saya.

Kalis meringis, “Mudahnya sih iya, tapi menyenangkannya masih belum terbukti sebelum kita punya mobil.”

Saya tertawa. “Mobil itu nggak ada romantisnya, lebih romantis Honda Beat.”

Setelah saya dan Kalis selesai memakai jas hujan, kami langsung melaju melanjutkan perjalanan diikuti oleh beberapa pengendara lainnya yang juga selesai memakai jas hujan.

Saat bertolak, sekelebat, saya lirik spion motor saya, terlihat jelas toko yang sedang tutup itu, toko yang menyisakan 4 atau 5 motor dengan para penunggangnya yang memilih untuk duduk dan berteduh. Sebagian duduk di lantai emperan toko yang agak meninggi, sebagian lagi duduk di jok motor mereka masing-masing.

Sepanjang motor melaju, pikiran saya terus tersangkut pada toko yang tutup itu. Toko yang emperannya menjadi tempat saya dan Kalis berteduh sejenak untuk memakai jas hujan.

Betapa ada kegetiran kecil yang saya rasakan di sana. Bagaimana pun, toko yang tutup itu sejatinya adalah tempat usaha, dan ketika ia tutup, tentu ada sebabnya. Entah sedang tutup karena memang jadwalnya, entah tutup karena usahanya bangkrut, atau entah tutup karena toko itu sudah tidak digunakan lagi. Namun yang jelas, tutupnya toko tersebut bisa diartikan sebagai tanda bahwa sedang tidak ada nilai produktivitas pada toko tersebut.

Pada kenyataannya, kita memang lebih suka berteduh di ruko atau emperan toko yang sedang tutup saat bertemu hujan dalam perjalanan. Kita akan menghindari berteduh di toko atau tempat usaha lainnya yang sedang buka. Kita rikuh, sebab kita mampir hanya untuk berteduh atau sekadar memakai jas hujan. Sesuatu yang jelas tidak memberikan sumbangsih ekonomi pada pemilik toko. Tepat saat hujan mulai deras, kita lebih sering berharap agar segera bisa menepi di toko yang tutup.

Ini harapan yang, pada titik tertentu, cukup “jahat”, sebab kita berharap dipertemukan dengan tempat usaha yang “gagal” secara ekonomi. Dan sialnya, itu adalah jenis kejahatan yang terjadi secara naluriah.

Keberadaan toko yang tutup itu, walau menyedihkan, namun memang menjadi jujugan utama bagi para pengendara motor.

Tak terhitung berapa banyak pengendara motor yang kehujanan bukan karena mereka memang niat hujan-hujanan, tapi lebih karena tidak bisa menemukan toko yang tutup, sebab toko-toko yang mereka lewati sepanjang jalan saat hujan menerjang ternyata buka semua dan mereka sungkan untuk menepi. Mereka terus melaju, meter demi meter, dan berharap agar segera bertemu toko yang tutup sebelum hujan makin deras, tanpa mereka sadar bahwa mereka sudah melaju terlalu jauh dan bajunya sudah mulai basah.

Dan ketika akhirnya mereka menemukan toko yang tutup, niat mereka untuk menepi beringsut hilang, mereka memutuskan untuk menerobos hujan karena merasa sudah kadung basah. Padahal awalnya, mereka sudah berniat untuk berteduh.

Ah, kegetiran yang menyebalkan.

Bayangan-bayangan tentang toko yang tutup dan para pengendara yang menepi itu terus terbayang, bahkan setelah saya sudah melaju belasan kilometer.

Dalam hati, saya berdoa, semoga Tuhan melancarkan rezeki mereka para pemilik toko atau tempat usaha yang tutup dan tempatnya dipakai untuk menepi dan berteduh para pengendara motor, sehingga mereka mendapatkan materi yang setara atau malah lebih besar dari nilai ekonomi yang bisa mereka dapat seandainya toko atau tempat usaha mereka buka.

Azis Sayur Menuju Doktor

Kawan saya satu tongkrongan yang kebetulan juga sesama klan Los Kaliangkrikos, Azis Ahmad baru saja lolos seleksi wawancara untuk program doktorar luar negeri beasiswa santri. Jika tak ada aral yang melintang, ia akan segera menempuh pendidikan S3-nya di Leiden University atau Australian National University.

azis sayur

Tentu saja saya, Fairuz, Anwar, Dafi, Ubaidillah, Joko, dan kawan-kawan satu tongkrongan yang lain akan merasa kehilangan. Namun pastilah itu jenis kehilangan yang menyenangkan. Kehilangan yang layak untuk dirayakan, sebab tak ada yang lebih membuat hati bahagia ketimbang melihat kawan yang menemani kita bisa bertumbuh.

Setelah sebelumnya ditinggal Azis yang Anwar Fachruddin ke ASU alias Arizona State University, sekarang kami harus siap ditinggal oleh Azis yang lain, Azis yang selalu kami panggil dengan panggilan “Azis Sayur”, sebab ia punya usaha kedai sayuran segar di Jogja yang ia ambil langsung dari petani Kaliangkrik.

Azis adalah sosok yang baik. Ia setia kawan. Dialah yang menyuplai nyaris seluruh kebutuhan sayur keluarga saya saat kami terkena Covid-19 pada pertengahan tahun 2021 lalu. Ia punya cita-cita yang besar, ia ingin membantu mbayari sebanyak mungkin anak-anak dari daerahnya untuk mondok.

Saya dan kawan-kawan tentu berharap Azis bisa segera berangkat ke luar negeri, lulus, lalu pulang dan bercerita banyak hal pada kami di atas kursi kafe Basabasi Condongcatur tempat biasa kami nongkrong.

Saat itulah, kami sudah menyiapkan nama panggilan baru untuknya: Azis Vegetables.

Loving Rusdi

Dalam film “Loving Pablo”, —film tentang Pablo Escobar, gembong narkoba paling dahsyat dan brutal itu— yang saya tonton beberapa waktu yang lewat, ada satu scene yang bagi saya punya arti begitu dalam dan sentimentil. Adegan saat si Pablo Escobar menangis karena tak bisa mengantar putri kesayangannya, Manuela, pergi ke alun-alun membeli es krim karena ia harus mendekam di penjara.

Don Pablo, begitu julukannya, lelaki yang pernah menjadi salah satu orang terkaya di negaranya, lelaki yang pernah memasok 80 persen kebutuhan kokain amerika serikat, lelaki yang punya banyak pasukan dan sicario (pembunuh bayaran) yang siap mati untuknya, lelaki yang memimpin salah satu kartel narkoba terbesar di dunia, ternyata menangis karena tak bisa mengantar putri kesayangannya membeli es krim.

Bagi Pablo, mengantarkan putrinya membeli es krim adalah soal harga diri sebagai seorang ayah. Dan ketika hal itu tak sanggup ia jalani, rubuh harga diri itu.

Dan kita semua tahu, ketika harga diri rubuh, tak ada hal lain yang bisa dilakukan selain menangis.

Di belahan bumi yang lain, saya pernah melihat adegan yang tak kalah sentimentil tentang urusan harga diri.

Lelaki itu bernama Rusdi Mathari. Ia tentu saja bukan kartel narkoba seperti Pablo Escobar, potongannya sangat tidak meyakinkan untuk ukuran seorang kartel. Ia adalah penulis dan wartawan. Salah satu yang terbaik yang pernah dimiliki negeri ini.

Baginya, menulis tentu saja adalah perkara harga diri. Menulis adalah pekerjaannya. Dari menulis itu, ia bisa memberikan apa saja untuk anak dan istrinya.

Bahkan dalam kondisi yang sakit, ia tetap ingin bisa menulis.

“Saya harus mengetik, harus bertahan dan hidup, menulis adalah pekerjaan saya. Karena Itu saya mencoba menulis menggunakan gajet, meskipun hanya dengan satu jari. Tangan kiri memegang gajet, jempol tangan kanan mengetik.”

Dan, pada suatu ketika, pemandangan itu saya lihat saat saya dan Puthut EA menjenguk dirinya di rumahnya. Di ranjangnya, ia hanya berbaring lemah. Tangannya susah digerakkan. Dalam kondisi tersebut, air matanya mengalir. Ya, ia menangis. Rusdi Mathari menangis.

“Aku wis gak iso nulis, Thut, Gus…” ujarnya lirih. “Tanganku iki wis gak iso gerak.”

Saya ikut menangis. Saya melihat bagaimana harga diri itu tumbang disertai dengan air mata.

Kelak, sosok yang menangis karena tak bisa menulis itu akhirnya berpulang. Namun begitu, tentu saja tulisannya akan terus abadi. Sebab ada banyak kawan baik yang terus menjaga, menerbitkan, menyebarkan, dan merayakan tulisan-tulisannya.