Ini mungkin menjadi pertanyaan bagi para penulis pemula yang sedang ingin menjajal menerbitkan buku, atau orang-orang di luar dunia kepenulisan dan perbukuan. Banyak orang kaget saat tahu bahwa royalti yang didapat oleh penulis buku “hanya” 10 persen. Jadi kalau harga buku 50 ribu, untuk setiap satu buku yang laku, penulis “hanya” mendapatkan 5 ribu.
Kenapa bisa royalti penulis cuma 10 persen? Nah, salah satu alasannya adalah karena mekanisme distribusi. Sebagai info, distributor mendapatkan sekitar 30-40 persen dari harga buku. Distributor inilah yang akan mendistribusikan buku ke toko-toko buku seperti Gramedia, Togamas, Social Agency, dll.
Toko buku sendiri dapatnya sekitar 30-40 persen juga, ini angka yang kelihatannya sudah nggak bisa diotak-atik, sebab toko buku inilah yang menjadi ujung tombak penjualan, merekalah pihak yang boleh dibilang bekerja paling keras mempromosikan buku.
Penerbit dapatnya sekitar 20-30 persen (Ini sudah termasuk alokasi buat produksi, bayar layouter, editor, desainer, translator, promosi, dll). Keuntungan penerbit boleh dibilang sangat sedikit. Mereka baru bisa ngegas buat cari untung agak banyak ketika buku yg mereka terbitkan cetak ulang, sebab di cetakan ulang, sudah nggak ada lagi biaya layouter, editor, desainer, atau translator yang memang biasanya dibayar penuh di awal.
Penerbit pada dasarnya melakukan “perjudian” besar saat menerbitkan sebuah buku. Untuk bisa didistribusikan ke toko-toko di seluruh Indonesia, mereka harus mencetak setidaknya 3 ribu eksemplar, biayanya full dari penerbit, dan agar bisa sekadar balik modal (balik modal, belum untung), setidaknya harus laku sepertiga oplah alias minimal seribu eksemplar.
Penerbit bisa saja mencetak kurang dari itu, misal 500 eksemplar, tapi distribusinya tentu jadi tidak luas, selain itu, biaya cetaknya juga jadi melambung tinggi, bisa jadi dua kali lipat.
Dengan segala konsekuensi itu, mereka mendapatkan “hanya” 20-30 persen.
Nah, barulah sisanya buat penulis, angkanya 10 persen. Ada sih yang ngasih sampai 12-15 persen, tapi itu jarang sekali, biasanya hanya penulis dengan nama besar. Malah ada yang ngasih cuma 7-8 persen. Tapi umumnya ya 10 persen.
Lantas, apakah ada harapan buat penulis agar bisa mendapatkan royalti lebih dari 10 persen? Kemungkinannya ada. Dan sangat terbuka. Salah satu alasannya karena sekarang mulai banyak buku-buku yang beredar di toko buku indie tanpa melalui jalur distributor. Mereka kulakan langsung ke penerbitnya.
Dengan mekanisme seperti itu, jalur distribusi bisa terpotong. Porsi yang biasanya untuk distributor, bisa dipakai buat tambahan keuntungan penerbit dan menambah royalti buat penulis.
Apakah sudah ada contohnya? Ada. Salah satu yang saya tahu adalah kawan saya Virdika, penulis buku Menjerat Gusdur yang sangat laris itu. Buku itu disebarkan ke jaringan toko buku milik kawan-kawan sendiri tanpa distributor. Penerbitnya menerapkan sistem keadilan yang baik. Virdika, setahu saya, mendapatkan royalti 20-25 persen. Saya agak lupa persis angkanya, tapi yang jelas jauh di atas 10 persen.
Namun, tentu saja tidak semua buku bisa begini. Walau mulai banyak toko-toko buku indie baru yang bermunculan, namun peran toko buku besar seperti Gramedia dkk itu masih tetap menjadi barometer penjualan buku yang luar biasa.
Lantas apakah penghasilan dari royalti yang hanya 10 persen itu bisa diharapkan sebagai sumber penghasilan yang cukup? Kalau ini ya tergantung. Kalau Anda penulis dan bukunya terjual puluhan ribu atau malah ratusan ribu ya pasti bakal cukup-cukup saja. Tapi kalau terjualnya cuma di angka ratusan, ya sebaiknya jangan jadikan royalti buku sebagai sumber penghasilan utama.
Kalau Anda penulis novel, misalnya, dan sedang ingin mencoba mencari penghasilan dari novel Anda, saya sarankan coba berbagai jalur monetisasi yang lain. Buku cetak bukan satu-satunya jalan untuk mendapatkan penghasilan dari novel Anda.
Sekarang ada banyak platform yang memungkinkan Anda untuk menjual novel Anda.
Anda bisa menjualnya sebagai ebook dengan harga yang lebih terjangkau. Ini bisa menjadi jalan yang bagus untuk mencoba mengetes pasar. Terlebih sudah ada banyak platform penjualan produk digital yang bisa dipakai. Anda bisa gunakan platform seperti Mayar, Clicky, Lynkid, dan platform-paltform sejenis. Biaya potongannya hanya berkisar antara 2-5 persen.
Saya pernah mencoba cara ini, dan hasilnya lumayan. Saya sempat menjual ebook berisi kumpulan cerita humor dewasa yang saya tulis beberapa tahun lalu melalui platform Mayar, saya banderol 17 ribu saja. Dan dalam dua bulan terjual sekitar 1500-an (kalian bisa klik http://bit.ly/rambat kalau tertarik ingin ikut beli).
Cara ini bagus, sebab selain bisa buat mengetes ombak, juga bisa digunakan untuk mengumpulkan database pembeli (email dan nomor pembeli bisa didownload), sehingga kalau kelak Anda menerbitkan karya lagi, kalian bisa menggunakannya sebagai target promosi.
Selain itu, Anda juga bisa mencoba menjual novel kalian secara eceran, bisa melalui platform Kwikku atau Karyakarsa. Pecah saja novel kalian per bab, jual dengan harga murah. Misal 5 ribu per bab. Atau bisa juga sebagian digratiskan, sebagian dibuat berbayar. Misal total ada 12 bab, 2 bab awal gratis, dan 10 bab sisanya bayar. Orang kalau sudah suka dengan 2 bab di awal, umumnya akan sangat penasaran dan mau membeli lanjutannya.
Apakah cara ini layak dicoba? Sangat. Saya pernah berbincang satu forum dengan salah satu penulis Karyakarsa, akunnya revelrebel (kalian bisa klik http://karyakarsa.com/revelrebel). Melalui metode menjual ecer novelnya per bab di karyakarsa itu, ia berhasil tarik withdraw hingga ratusan juta rupiah. Beberapa penulis digital yang saya kenal juga berhasil menarik banyak uang dari menjual novel “online”-nya yang dijual ecer.
Dalam beberapa tahun terakhir, cara-cara menjual karya tulisan panjang ini makin beragam, dan itu bagus bagi kita para penulis. Kita tidak melulu harus selalu berfokus pada buku, tidak selalu meyakini bahwa uang dari menulis hanya dari royalti buku.
Namun memang pesona buku cetak bagi saya masih tetap belum tergantikan. Ini terlepas dari penilaian saya yang punya toko buku, ya. Yang pasti, nyaris semua karya yang dibicarakan secara luas oleh orang-orang adalah buku yang dicetak. Mungkin ada versi ebooknya, tapi tetap saja itu buku cetak.
Jadi, buat para penulis, semoga kalian semua tetap semangat menulis, dan tidak kehilangan harapan untuk mendapatkan penghasilan dari menulis.
Sedangkan buat pembaca, setelah tahu betapa kecil porsi yang didapat oleh penulis dan penerbit, berhentilah membeli buku-buku bajakan. Membeli buku bajakan adalah bentuk kezaliman tersendiri, sebab hal itu merampas hak penulis dan penerbit.
Itu satu-satunya cara paling masuk akal untuk membantu para penulis dalam mendapatkan haknya, sebab mau berharap pada pemerintah juga susah, mereka tampaknya lebih piawai dalam memungut pajak untuk para penulis alih-alih menindak para pembajak yang merugikan penulis.