Sejak dari Mungkid, awan hitam di arah selatan sudah terlihat menggelayut dengan sangat jelas, pertanda bahwa perjalanan saya dan Kalis dari Magelang ke Jogja pasti akan bertemu hujan yang amat deras. Pertanda itu pula yang membuat saya sudah bersiap dengan singgah terlebih dahulu di Alfamart untuk membeli jas hujan, sebab jas hujan yang ada di jok motor saya hanya ada satu.
Hujan pada akhirnya datang, lebih cepat dari dugaan saya. Kami berdua baru sampai Taman Bambu Runcing saat hujan yang tadinya hanya gerimis tipis mulai berubah menjadi hujan yang sebenar-benarnya hujan.
Saya dan Kalis berhenti untuk memakai jas hujan di depan salah satu emperan toko yang sedang tutup. Entah toko apa, tapi yang jelas, keberadaan toko yang tutup itu menjadi kelegaan bagi saya, dan tentu saja juga bagi pengendara lainnya yang sama-sama menepi di toko yang sedang tutup itu.
Sebagian orang menepi untuk memakai jas hujan, sementara sebagian lagi, yang tak punya jas hujan, menepi untuk benar-benar berteduh dan menunggu hujan reda, atau setidaknya sampai rintik airnya bisa ditolelir untuk diterobos.
Saya memakai jas hujan plastik model ponco, sedangkan Kalis memakai jas hujan model celana. Ia tampak kerepotan memakai jas hujan miliknya, utamanya karena ia memakai tas berukuran cukup besar yang harus ia masukkan juga ke dalam jas hujan.
“Gimana, Lis? Menikah dengan Agus Mulyadi itu mudah dan menyenangkan, bukan?” goda saya.
Kalis meringis, “Mudahnya sih iya, tapi menyenangkannya masih belum terbukti sebelum kita punya mobil.”
Saya tertawa. “Mobil itu nggak ada romantisnya, lebih romantis Honda Beat.”
Setelah saya dan Kalis selesai memakai jas hujan, kami langsung melaju melanjutkan perjalanan diikuti oleh beberapa pengendara lainnya yang juga selesai memakai jas hujan.
Saat bertolak, sekelebat, saya lirik spion motor saya, terlihat jelas toko yang sedang tutup itu, toko yang menyisakan 4 atau 5 motor dengan para penunggangnya yang memilih untuk duduk dan berteduh. Sebagian duduk di lantai emperan toko yang agak meninggi, sebagian lagi duduk di jok motor mereka masing-masing.
Sepanjang motor melaju, pikiran saya terus tersangkut pada toko yang tutup itu. Toko yang emperannya menjadi tempat saya dan Kalis berteduh sejenak untuk memakai jas hujan.
Betapa ada kegetiran kecil yang saya rasakan di sana. Bagaimana pun, toko yang tutup itu sejatinya adalah tempat usaha, dan ketika ia tutup, tentu ada sebabnya. Entah sedang tutup karena memang jadwalnya, entah tutup karena usahanya bangkrut, atau entah tutup karena toko itu sudah tidak digunakan lagi. Namun yang jelas, tutupnya toko tersebut bisa diartikan sebagai tanda bahwa sedang tidak ada nilai produktivitas pada toko tersebut.
Pada kenyataannya, kita memang lebih suka berteduh di ruko atau emperan toko yang sedang tutup saat bertemu hujan dalam perjalanan. Kita akan menghindari berteduh di toko atau tempat usaha lainnya yang sedang buka. Kita rikuh, sebab kita mampir hanya untuk berteduh atau sekadar memakai jas hujan. Sesuatu yang jelas tidak memberikan sumbangsih ekonomi pada pemilik toko. Tepat saat hujan mulai deras, kita lebih sering berharap agar segera bisa menepi di toko yang tutup.
Ini harapan yang, pada titik tertentu, cukup “jahat”, sebab kita berharap dipertemukan dengan tempat usaha yang “gagal” secara ekonomi. Dan sialnya, itu adalah jenis kejahatan yang terjadi secara naluriah.
Keberadaan toko yang tutup itu, walau menyedihkan, namun memang menjadi jujugan utama bagi para pengendara motor.
Tak terhitung berapa banyak pengendara motor yang kehujanan bukan karena mereka memang niat hujan-hujanan, tapi lebih karena tidak bisa menemukan toko yang tutup, sebab toko-toko yang mereka lewati sepanjang jalan saat hujan menerjang ternyata buka semua dan mereka sungkan untuk menepi. Mereka terus melaju, meter demi meter, dan berharap agar segera bertemu toko yang tutup sebelum hujan makin deras, tanpa mereka sadar bahwa mereka sudah melaju terlalu jauh dan bajunya sudah mulai basah.
Dan ketika akhirnya mereka menemukan toko yang tutup, niat mereka untuk menepi beringsut hilang, mereka memutuskan untuk menerobos hujan karena merasa sudah kadung basah. Padahal awalnya, mereka sudah berniat untuk berteduh.
Ah, kegetiran yang menyebalkan.
Bayangan-bayangan tentang toko yang tutup dan para pengendara yang menepi itu terus terbayang, bahkan setelah saya sudah melaju belasan kilometer.
Dalam hati, saya berdoa, semoga Tuhan melancarkan rezeki mereka para pemilik toko atau tempat usaha yang tutup dan tempatnya dipakai untuk menepi dan berteduh para pengendara motor, sehingga mereka mendapatkan materi yang setara atau malah lebih besar dari nilai ekonomi yang bisa mereka dapat seandainya toko atau tempat usaha mereka buka.