Politik “Siap, Laksanakan!” ala Bambang Pacul

“Di sini boleh ngomong galak, Pak, tapi Bambang Pacul ditelepon ibu, ‘Pacul, berhenti!’, ‘Siap! Laksanakan!’,” kata Bambang Pacul dalam rapat di gedung DPR rabu lalu.

Kalimat tersebut terlontar saat Bambang Pacul menjawab pertanyaan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD dalam rapat dengar pendapat yang meminta agar Komisi III DPR menggolkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset serta RUU Pembatasan Transaksi Uang Kartal.

Pernyataan Bambang Pacul tersebut kemudian ditimpali oleh anggota DPR lain yang juga sepakat tentang apa yang dikatakan oleh Bambang Pacul. Mereka kemudian tertawa, entah menertawakan nasib, atau mungkin menertawakan kegetiran takdir mereka sebagai anggota DPR yang tampak nggleleng tetapi sejatinya harus selalu manut sama ketua umum.



Tentu saja apa yang dikatakan oleh Bambang Pacul itu adalah kenyataan yang menyakitkan. Memang dalam urusan pembahasan undang-undang, realitasnya begitu. “Nyang-nyangan” undang-undang memang tidak pernah murni menjadi urusan anggota DPR, melainkan urusan ketua umum parpol yang secara hierarki kepartaian adalah pimpinan mereka.

Bambang Pacul dengan cara yang konyol (dan menyebalkan) menunjukkan bahwa kompas politiknya tidak pernah goyah. Jarumnya tidak menunjuk ke utara, selatan, timur, atau barat. Jarumnya hanya menunjuk ke satu arah yang sakral: Megawati. Pejah gesang nderek Bu ketum.

Maka, nasib dua undang-undang krusial itu pun menjadi jelas. Bukan lagi soal apakah baik untuk negara atau tidak, melainkan sesederhana: “Sudah ada perintah atau belum?” Ini bukan lagi proses legislasi, ini adalah sesi menunggu notifikasi.

Bambang Pacul menunjukkan apa itu genre politik desain klasik, dengan kumis aerodinamis, dan prosesor loyalitas tingkat tinggi, produk politik inilah yang dirancang untuk kesederhanaan dan kepatuhan maksimal.

Sebuah fakta betapa DPR memang penuh dengan kepatuhan yang dibalut dengan kegarangan.

Betapa orang bertampang sangar seperti Bambang Pacul pun, yang bahkan namanya sudah sangat cocok sebagai seorang gentho pun, masih tetap harus “Siap, Yak, lapan enam” kepada entitas yang lebih tinggi.

Ah, saya jadi membayangkan, seandainya saya jadi Mahfud MD saat itu, saya mungkin hanya bisa merenges sambil bilang “Haiiiish, gatheeel… gatheeel…”
Share: