Loving Rusdi

Dalam film “Loving Pablo”, —film tentang Pablo Escobar, gembong narkoba paling dahsyat dan brutal itu— yang saya tonton beberapa waktu yang lewat, ada satu scene yang bagi saya punya arti begitu dalam dan sentimentil. Adegan saat si Pablo Escobar menangis karena tak bisa mengantar putri kesayangannya, Manuela, pergi ke alun-alun membeli es krim karena ia harus mendekam di penjara.

Don Pablo, begitu julukannya, lelaki yang pernah menjadi salah satu orang terkaya di negaranya, lelaki yang pernah memasok 80 persen kebutuhan kokain amerika serikat, lelaki yang punya banyak pasukan dan sicario (pembunuh bayaran) yang siap mati untuknya, lelaki yang memimpin salah satu kartel narkoba terbesar di dunia, ternyata menangis karena tak bisa mengantar putri kesayangannya membeli es krim.

Bagi Pablo, mengantarkan putrinya membeli es krim adalah soal harga diri sebagai seorang ayah. Dan ketika hal itu tak sanggup ia jalani, rubuh harga diri itu.

Dan kita semua tahu, ketika harga diri rubuh, tak ada hal lain yang bisa dilakukan selain menangis.

Di belahan bumi yang lain, saya pernah melihat adegan yang tak kalah sentimentil tentang urusan harga diri.

Lelaki itu bernama Rusdi Mathari. Ia tentu saja bukan kartel narkoba seperti Pablo Escobar, potongannya sangat tidak meyakinkan untuk ukuran seorang kartel. Ia adalah penulis dan wartawan. Salah satu yang terbaik yang pernah dimiliki negeri ini.

Baginya, menulis tentu saja adalah perkara harga diri. Menulis adalah pekerjaannya. Dari menulis itu, ia bisa memberikan apa saja untuk anak dan istrinya.

Bahkan dalam kondisi yang sakit, ia tetap ingin bisa menulis.

“Saya harus mengetik, harus bertahan dan hidup, menulis adalah pekerjaan saya. Karena Itu saya mencoba menulis menggunakan gajet, meskipun hanya dengan satu jari. Tangan kiri memegang gajet, jempol tangan kanan mengetik.”

Dan, pada suatu ketika, pemandangan itu saya lihat saat saya dan Puthut EA menjenguk dirinya di rumahnya. Di ranjangnya, ia hanya berbaring lemah. Tangannya susah digerakkan. Dalam kondisi tersebut, air matanya mengalir. Ya, ia menangis. Rusdi Mathari menangis.

“Aku wis gak iso nulis, Thut, Gus…” ujarnya lirih. “Tanganku iki wis gak iso gerak.”

Saya ikut menangis. Saya melihat bagaimana harga diri itu tumbang disertai dengan air mata.

Kelak, sosok yang menangis karena tak bisa menulis itu akhirnya berpulang. Namun begitu, tentu saja tulisannya akan terus abadi. Sebab ada banyak kawan baik yang terus menjaga, menerbitkan, menyebarkan, dan merayakan tulisan-tulisannya.
Share: