Perihal Buku “Ibu Kemanusiaan: Catatan-Catanan Perempuan untuk 86 Tahun Buya Ahmad Syafii Maarif”

Sekira bulan puasa dua tahun lalu, saya bersama kawan-kawan Mojok dan Gusdurian mengunjungi Ahmad Syafii Maarif untuk syuting program “Sowan Kiai”. Kami menemuinya di masjid tak jauh dari rumahnya setelah salat tarawih selesai. Rencananya, kami akan merekam perbincangan kami dengan Syafii Maarif di beranda masjid, namun ia menyarankan agar syuting dipindah saja ke poskamling tak jauh dari masjid.

“Di sana lebih enak buat ngobrol santai,” ujarnya.

Kami setuju. Kami kemudian berpindah ke poskamling yang jaraknya hanya sepelemparan batu dari masjid. Dan memang benar, poskamling itu jauh lebih memenuhi syarat sebagai set syuting ketimbang beranda masjid, kecuali satu hal, pekarangan di bagian kanan poskamling itu agak kotor karena dipenuhi guguran daun.

Kami pun berinisiatif untuk membersihkannya. Namun, belum juga kami selesai meletakkan kamera, tripod, dan berbagai perangkat lainnya, Syafii Maarif, tokoh besar itu ternyata sudah lebih dulu melakukan apa yang ingin kami lakukan. Ia menyapu daun-daun kotor itu lalu memasukannya ke dalam ekrak. Demi melihat adegan itu, saya reflek berusaha merebut sapu itu dan meminta agar saya menggantikannya. “Biar saya saja, Buya,” kata saya.

Namun ia menolak. Sambil tersenyum kecil, ia menjawab “Kamu pikir saya nggak bisa nyapu, apa?”

Modiar aku.

Kelak, saya tahu bahwa sikapnya yang keras dan tak mau merepotkan orang lain itu adalah sikap yang sudah ia praktikkan sejak lama.

Zen RS, dalam salah satu tulisannya pernah menceritakan kenangannya saat masih menjadi mahasiswanya Syafii Maarif, ia mengenang bagaimana seorang Syafii Maarif saat itu pernah menolak mentah-mentah saat ada mahasiswanya yang menawarkan diri membawakan tasnya yang berisi makalah.

“Anda pikir saya sudah terlalu tua sampai tidak kuat untuk membawa tas?” begitu kata Syafii Maarif.

Ahmad Syafii Maarif adalah tokoh yang terbukti teguh memegang komitmen. Saat masih menjabat sebagai Ketua Umum PP Muhammadiyah, ia bahkan masih tetap rajin mengajar sebagai dosen. Masih menurut Zen RS, Syafii Maarif bahkan pernah marah kepada mahasiswanya karena kemampuan bahasa Inggris mahasiswanya berantakan.

“Mau jadi sejarawan kok bahasa asingnya kacau. Semester depan saya sendiri yang akan ngajar Bahasa Inggris. Kalian kalau mau ikut silakan masuk,” katanya saat itu yang kemudian benar-benar ia lakukan di semester berikutnya.

Ia pun dosen yang amat sangat teliti memeriksa makalah mahasiswanya. “Minggu lalu saya ke Amerika. Makalah kalian saya periksa di dalam pesawat. Jadi tolong jangan sia-siakan waktu saya dengan membuat makalah yang jelek!” Ujarnya suatu ketika kepada para mahasiswanya.

Baginya, jabatan adalah amanah yang tak pernah bisa disepelekan. Ia menjalankan tugasnya sebagai ketua umum Muhammadiyah dan juga sebagai dosen dengan penuh kesungguhan. Ia sosok yang selalu menolak tawaran menjadi komisaris BUMN namun gigih memperjuangkan uang royalti bukunya yang hanya mungkin nilainya tak seberapa. Ia bersetia menjadi pribadi yang berintegritas.

Hal-hal di atas tentu saja hanya segelintir dari sekian banyak kisah keteladanan tentang seorang Ahmad Syafii Maarif, keteladanan yang memang kelewat akrab, sebab saking banyaknya dan mudah sekali untuk menemukannya.

Nah, buku “Ibu Kemanusiaan: Catatan-catatan Perempuan untuk 86 Tahun Buya Ahmad Syafii Maarif” ini pun saya pikir merupakan salah satu potongan kecil katalog kisah-kisah keteladanan Ahmad Syafii Maarif.

Bahwa selayaknya buku yang memang diniatkan ditulis untuk mensyukuri ulang tahun seorang Ahmad Syafii Maarif, tentu saja ada banyak sekali puja dan puji untuknya, walau saya yakin, beliau tak lagi membutuhkan itu. Namun demikian, buku ini menjadi penting dan menarik semata karena orang-orang perlu tahu, kenapa seorang Ahmad Syafii Maarif amat berhak atas pujian-pujian itu.

buku ibu kemanusiaan

Ada begitu banyak jejak dan peran Syafii Maarif terhadap masyarakat dalam kehidupan berbangsa, berpikir, beragama, berpengetahuan, bahkan berkemuhammadiyahan yang ditulis dalam buku ini. Kesan-kesan luhur atas sosok Ahmad Syafii Maarif pun hampir bisa dibaca setiap dua-tiga halaman sekali.

Dan tentu saja, hal-hal itu layak untuk diceritakan. Dalam dunia yang semakin semrawut seperti sekarang ini, kisah-kisah tokoh yang penuh dengan keteladanan seperti Syafii Maarif memang akan selalu penting untuk disampaikan. Jika semangat kebangsaan itu selayaknya parfum, maka Syafii Maarif pastilah biangnya.

Satu hal yang unik dari buku ini, jika saya membandingkannya dengan buku ‘Gus Dur di Mata Perempuan’ (yang kebetulan sama-sama ditulis oleh sekelompok perempuan, dikatapengantari oleh perempuan, serta diedit oleh perempuan), adalah munculnya kritik dari para perempuan terhadap Syafii Maarif.

Dalam buku ‘Gus Dur di Mata Perempuan’, para penulisnya (Ida Fauziah, Andree Feilard, Lily Zakiah Munir, dll) menyampaikan tentang Gus Dur sebagai sosok yang amat progresif utamanya dalam hal kesetaraan gender. Sedangkan buku ‘Ibu Kemanusiaan’ justru menjadi buku yang “agak” mengkritik Syafii Maarif yang dianggap sangat sering menulis tentang isu kebangsaan, Islam, dan demokrasi namun sangat jarang menulis tentang isu kesetaraan gender. Padahal, dalam urusan kesetaraan gender, Ahmad Syafii Maarif adalah juga sosok yang progresif. Ia sangat menjunjung tinggi kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Lebih lanjut, Syafii Maarif juga dikenal sebagai tokoh yang terus mendorong adanya upaya reinterpretasi terhadap ayat Al-Quran Arrijalu qowwamuna 'alannisa (Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum perempuan) untuk mewujudkan semangat kesetaraan.

Sayang, sikap keberpihakan terhadap kesetaraan gender tersebut jarang diungkapkan oleh Syafii Maarif yang justru lebih banyak menulis tema-tema kebangsaan, islam, dan juga demokrasi. Nah, itulah yang kemudian membuat Syafii Maarif agak “dikritik” dalam buku ini.

Direktur eksekutif Woman Research Institute Sita Aripurnami, misalnya, menuliskan harapannya dalam tulisannya di buku ini agar Syafii Maarif lebih banyak menulis tentang perjuangan kemanusiaan perempuan. Hal serupa juga disampaikan oleh Direktur Eksekutif Democracy and Electoral Empowerment Partnership yang juga aktif sebagai anggota Lembaha Hukum dan Publik PP Muhammadiyah dan aktivis Nasyiatul Aisyiyah Neni Nur Hayati yang agak “menyayangkan” Syafii Maarif karena belum melahirkan buku yang secara khusus membahas dan konsen terhadap isu-isu perempuan dan kesetaraan gender utamanya dalam perspektif demokrasi.

Munculnya kritik-kritik (di sampung segala puja-puji terhadap Syafii Maarif) dalam buku ini kemudian terasa menjadi semacam lanjutan kritik KH. Husein Muhammad atas karya Syafii Maarif (KH. Husein Muhammad pernah mengkritik buku Syafii Maarif ‘Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan’ karena sama sekali tidak membahas kesetaraan gender dan posisi perempuan dalam Islam. Kritik yang kemudian membuat Syafii Maarif kemudian memasukkan satu bab khusus tentang kesetaraan gender dalam buku yang sama pada cetakan berikutnya).

Bagi saya, munculnya kritik dalam buku ini justru menjadi bukti bahwa banyak orang yang menyayangi Syafii Maarif, sebab toh bagi seorang Syafii Maarif, kritik merupakan tanda sayang dan rindu.

Pada akhirnya, buku ini saya anggap sangat berhasil sebagai hadiah ulang tahun ke-86 untuk Syafii Maarif. Tak ada yang lebih menyenangkan bagi seseorang yang sedang berulang tahun selain mendapatkan doa-doa yang baik, disertai dengan kritik-kritik yang baik pula.

Selamat ulang tahun, Buya.

(Hari ini, Ahmad Syafii Maarif berulang tahun yang ke-86, mari kita sejenak mendoakan beliau agar terus sehat dan panjang umur.)
Share: