tag:blogger.com,1999:blog-51671446129423529962024-03-06T09:59:38.591+07:00Jurnal Agus MulyadiCatatan-catatan ringan Agus Mulyadi.Agus Mulyadihttp://www.blogger.com/profile/04176451251169164564noreply@blogger.comBlogger163125tag:blogger.com,1999:blog-5167144612942352996.post-58892834117434279612022-05-20T17:20:00.002+07:002022-06-04T00:09:40.903+07:00Sing Kuat Udu Aku“Sing kuat udu aku, nanging donga pangestune wong tuaku.” Yang kuat bukan aku, tapi doa restu orang tuaku.
<br/><br/>
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi8lp0xu9UIpujfDOyT5phZ2U5lPVPlRV_MDZ9e81RVDLI6HaQR5ARF5UuOkfTZDuJekVoNnx6F1St9mh5vhen0-Tydk2guoG07zcsQqBx5fT93HcmR2Q0zQc8iwsn0ne6ULYBn3vyC-h_OShDGGVnKCgw7WK-5tdrBtv-pLS2AflXXe0t5dB0fnfsE/s1600/sing%20kuat%20udu%20aku.jpeg"><img alt="tulisan bokong truk" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi8lp0xu9UIpujfDOyT5phZ2U5lPVPlRV_MDZ9e81RVDLI6HaQR5ARF5UuOkfTZDuJekVoNnx6F1St9mh5vhen0-Tydk2guoG07zcsQqBx5fT93HcmR2Q0zQc8iwsn0ne6ULYBn3vyC-h_OShDGGVnKCgw7WK-5tdrBtv-pLS2AflXXe0t5dB0fnfsE/s1600/sing%20kuat%20udu%20aku.jpeg"/></a>
<br/><br/>
Saat bertemu tulisan tersebut tadi siang di Jalan Kaliurang, hati saya langsung terasa mak dheg. Ia seperti menjadi pengingat yang halus tentang pencapaian. Betapa dalam hidup, saya dan mungkin juga Anda, sering sekali melupakan peran besar doa orang tua, dan merasa apa yang sudah kita capai selama ini adalah murni andil usaha kita. Kita sering menafikan doa orang tua dalam semesta keberhasilan hidup, melupakannya, dan menyingkirkannya ke dalam ruang yang amat jauh.
<br/><br/>
Dalam banyak hal yang kita lakukan, dalam bisnis, pendidikan, karier, pergaulan, jodoh, apa pun itu, doa orang tua akan selalu menjadi hal yang penting. Meminta doa restu orang tua bukanlah sekadar pelengkap ikhtiar, ia seharusnya menjadi ikhtiar yang utama. Doa restu orang tua selalu bisa, sangat bisa, memengaruhi keberhasilan dan kegagalan hidup.
<br/><br/>
Kalau suatu saat, kau gagal, remuk, dan menjadi pecundang, jangan-jangan bukan karena usahamu yang kurang keras, langkahmu yang kurang cerdik, atau persiapanmu yang kurang matang. Jangan-jangan kau melupakan satu hal penting, ridho orang tua. Ridho yang kepadanya, Tuhan ikut ridho.
<br/><br/>
Sebaliknya, kalau kita berjaya dan berhasil meraih apa yang kita cita-citakan, bisa jadi itu semua karena Tuhan mempermudah jalan kita melalui perantara doa tulus orang tua kita.
<br/><br/>
Maka, ingatlah, ada doa orang tua dalam setiap keberhasilan, ada tirakat orang tua dalam setiap kecemerlangan dan kecerdasan, dan ada laku prihatin orang tua di balik jalan mulus yang sering kita kira sebagai keberuntungan.
<br/><br/>
Bapak, Ibu, nyuwun pangapuro. Aku kemlinthi, aku rumongso iso, aku yak-yak’o.Agus Mulyadihttp://www.blogger.com/profile/04176451251169164564noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-5167144612942352996.post-13182040051020896832022-05-09T01:17:00.002+07:002022-06-04T01:18:46.027+07:00Kelancaran dan KebuntuanSejak memasuki perbatasan Jawa Tengah-Jogja, baru saya sadari bahwa saya tidak pernah berhenti di lampu merah. Di setiap perempatan yang ada lampu merahnya, saya selalu bisa jalan terus tanpa berhenti.
<br/><br/>
Dua lampu merah pertama menunjukkan tanda warna kuning berkedip, yang artinya para pengendara bisa terus melaju asal berhati-hati, sedangkan pada lampu merah berikutnya, kebetulan selalu dijaga polisi yang mempersilakan para pengendara dari arah Jogja dan sebaliknya untuk jalan terus sebagai bagian dari pengaturan rekayasa lalu-lintas arus balik.
<br/><br/>
Saya berseru girang pada Kalis yang membonceng di belakang. “Wah, enak ya, Lis. Dari tadi tiap ketemu lampu merah, kita nggak pernah berhenti. Jalan terus.”
<br/><br/>
“Iyo, Mas. Jarang-jarang ngene iki,” timpalnya.
<br/><br/>
Tentu saja saya menikmati momen-momen kelancaran arus jalan yang walau ramai namun tetap lancar karena tidak terganggu oleh lampu merah itu. Kegembiraan sejenak yang memang jarang saya rasakan tiap kali berkendara dari Magelang ke Jogja atau sebaliknya.
<br/><br/>
Namun, tak butuh waktu lama untuk mengubah kegembiraan yang saya rasakan itu menjadi semacam sesal yang menyebalkan.
<br/><br/>
Sampai di perempatan lapangan Dengung, seorang penjaja koran tampak duduk di dekat lampu merah dengan wajah termenung menyaksikan deretan kendaraan di depannya yang melaju lancar bahkan walau lampu masih merah karena memang ada petugas polisi yang mengatur agar kendaraan terus melaju.
<br/><br/>
Saya tercekat melihat pemandangan itu. Kegembiraan yang baru beberapa menit saya rasakan itu kemudian bergerak menjadi semacam beban.
<br/><br/>
Saya baru tersadar, bahwa arus lalu lintas yang lancar jaya tanpa pemberhentian lampu merah itu, secara tidak langsung merenggut ruang-ruang nafkah tidak sedikit orang. Salah satunya si pedadang koran yang duduk termenung itu.
<br/><br/>
Entah ada berapa banyak lagi pedagang koran, pengamen, penjual kanebo, penjual tahu, penjual salak, dan penjual-penjual lainnya yang harus merelakan ruang berdagangnya “hilang” karena kelancaran lalu lintas itu.
<br/><br/>
Betapa saya baru menyadari, bahwa “kelancaran” bagi satu orang adalah “kebuntuan” bagi orang yang lain.
<br/><br/>
Walau sebenarnya tak ada yang perlu saya sesalkan, namun saya tetap saja merasa bersalah karena ikut merayakan kelancaran arus lalu-lintas tanpa pemberhentian lampu merah itu.
<br/><br/>
“Aku jadi merasa aneh sekarang, Lis,” kata saya mencoba menjelaskan perasaan saya yang campur aduk. “Semoga kelancaran arus yang tadi kita rasakan itu hanya sebentar saja, ya.”
<br/><br/>
“Tidak usah kamu pikir, Mas, bisa stres sendiri nanti kalau kamu mikir hal-hal seperti itu,” kata Kalis.
<br/><br/>
Saya terdiam, berusaha mengikuti apa kata Kalis. Tampaknya, memang tidak seharusnya saya memikirkan hal-hal yang seharusnya biasa saja itu.
<br/><br/>
Kalau koran yang dijual oleh penjaja koran itu tak laku, itu hal yang biasa saja. Kalau ada penjual tahu yang sampai sore dagangannya hanya berkurang beberapa bungkus, itu hal yang biasa saja. Kalau ada penjual salak yang pulang hanya membawa uang 10 ribu sedangkan anak dan istrinya menanti dengan bayangan dia dapat banyak uang, itu hal yang biasa saja. Bahkan, kalau ada penjual kanebo yang terserempet truk hingga tewas karena dirinya tidak waspada dan tergelinjir saat berlari menyongsong jalanan, itu juga hal yang biasa saja.
<br/><br/>
Benar kata Kalis, saya bisa stres sendiri kalau terlalu memikirkan hal-hal yang biasa itu.
<br/><br/>
Kemalangan, kemiskinan, kenestapaan, peruntungan yang buruk, takdir yang kejam, bahkan maut yang tragis, semuanya adalah hal yang biasa.
<br/><br/>
Roda nasib masih dan akan selalu berwujud makhluk bertangan dingin. Dan kita semua harus terbiasa.Agus Mulyadihttp://www.blogger.com/profile/04176451251169164564noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-5167144612942352996.post-61242395746535833822022-05-08T01:13:00.001+07:002022-06-04T01:15:52.048+07:00Ruko yang Tutup Saat HujanSejak dari Mungkid, awan hitam di arah selatan sudah terlihat menggelayut dengan sangat jelas, pertanda bahwa perjalanan saya dan Kalis dari Magelang ke Jogja pasti akan bertemu hujan yang amat deras. Pertanda itu pula yang membuat saya sudah bersiap dengan singgah terlebih dahulu di Alfamart untuk membeli jas hujan, sebab jas hujan yang ada di jok motor saya hanya ada satu.
<br/><br/>
Hujan pada akhirnya datang, lebih cepat dari dugaan saya. Kami berdua baru sampai Taman Bambu Runcing saat hujan yang tadinya hanya gerimis tipis mulai berubah menjadi hujan yang sebenar-benarnya hujan.
<br/><br/>
Saya dan Kalis berhenti untuk memakai jas hujan di depan salah satu emperan toko yang sedang tutup. Entah toko apa, tapi yang jelas, keberadaan toko yang tutup itu menjadi kelegaan bagi saya, dan tentu saja juga bagi pengendara lainnya yang sama-sama menepi di toko yang sedang tutup itu.
<br/><br/>
Sebagian orang menepi untuk memakai jas hujan, sementara sebagian lagi, yang tak punya jas hujan, menepi untuk benar-benar berteduh dan menunggu hujan reda, atau setidaknya sampai rintik airnya bisa ditolelir untuk diterobos.
<br/><br/>
Saya memakai jas hujan plastik model ponco, sedangkan Kalis memakai jas hujan model celana. Ia tampak kerepotan memakai jas hujan miliknya, utamanya karena ia memakai tas berukuran cukup besar yang harus ia masukkan juga ke dalam jas hujan.
<br/><br/>
“Gimana, Lis? Menikah dengan Agus Mulyadi itu mudah dan menyenangkan, bukan?” goda saya.
<br/><br/>
Kalis meringis, “Mudahnya sih iya, tapi menyenangkannya masih belum terbukti sebelum kita punya mobil.”
<br/><br/>
Saya tertawa. “Mobil itu nggak ada romantisnya, lebih romantis Honda Beat.”
<br/><br/>
Setelah saya dan Kalis selesai memakai jas hujan, kami langsung melaju melanjutkan perjalanan diikuti oleh beberapa pengendara lainnya yang juga selesai memakai jas hujan.
<br/><br/>
Saat bertolak, sekelebat, saya lirik spion motor saya, terlihat jelas toko yang sedang tutup itu, toko yang menyisakan 4 atau 5 motor dengan para penunggangnya yang memilih untuk duduk dan berteduh. Sebagian duduk di lantai emperan toko yang agak meninggi, sebagian lagi duduk di jok motor mereka masing-masing.
<br/><br/>
Sepanjang motor melaju, pikiran saya terus tersangkut pada toko yang tutup itu. Toko yang emperannya menjadi tempat saya dan Kalis berteduh sejenak untuk memakai jas hujan.
<br/><br/>
Betapa ada kegetiran kecil yang saya rasakan di sana. Bagaimana pun, toko yang tutup itu sejatinya adalah tempat usaha, dan ketika ia tutup, tentu ada sebabnya. Entah sedang tutup karena memang jadwalnya, entah tutup karena usahanya bangkrut, atau entah tutup karena toko itu sudah tidak digunakan lagi. Namun yang jelas, tutupnya toko tersebut bisa diartikan sebagai tanda bahwa sedang tidak ada nilai produktivitas pada toko tersebut.
<br/><br/>
Pada kenyataannya, kita memang lebih suka berteduh di ruko atau emperan toko yang sedang tutup saat bertemu hujan dalam perjalanan. Kita akan menghindari berteduh di toko atau tempat usaha lainnya yang sedang buka. Kita rikuh, sebab kita mampir hanya untuk berteduh atau sekadar memakai jas hujan. Sesuatu yang jelas tidak memberikan sumbangsih ekonomi pada pemilik toko. Tepat saat hujan mulai deras, kita lebih sering berharap agar segera bisa menepi di toko yang tutup.
<br/><br/>
Ini harapan yang, pada titik tertentu, cukup “jahat”, sebab kita berharap dipertemukan dengan tempat usaha yang “gagal” secara ekonomi. Dan sialnya, itu adalah jenis kejahatan yang terjadi secara naluriah.
<br/><br/>
Keberadaan toko yang tutup itu, walau menyedihkan, namun memang menjadi jujugan utama bagi para pengendara motor.
<br/><br/>
Tak terhitung berapa banyak pengendara motor yang kehujanan bukan karena mereka memang niat hujan-hujanan, tapi lebih karena tidak bisa menemukan toko yang tutup, sebab toko-toko yang mereka lewati sepanjang jalan saat hujan menerjang ternyata buka semua dan mereka sungkan untuk menepi. Mereka terus melaju, meter demi meter, dan berharap agar segera bertemu toko yang tutup sebelum hujan makin deras, tanpa mereka sadar bahwa mereka sudah melaju terlalu jauh dan bajunya sudah mulai basah.
<br/><br/>
Dan ketika akhirnya mereka menemukan toko yang tutup, niat mereka untuk menepi beringsut hilang, mereka memutuskan untuk menerobos hujan karena merasa sudah kadung basah. Padahal awalnya, mereka sudah berniat untuk berteduh.
<br/><br/>
Ah, kegetiran yang menyebalkan.
<br/><br/>
Bayangan-bayangan tentang toko yang tutup dan para pengendara yang menepi itu terus terbayang, bahkan setelah saya sudah melaju belasan kilometer.
<br/><br/>
Dalam hati, saya berdoa, semoga Tuhan melancarkan rezeki mereka para pemilik toko atau tempat usaha yang tutup dan tempatnya dipakai untuk menepi dan berteduh para pengendara motor, sehingga mereka mendapatkan materi yang setara atau malah lebih besar dari nilai ekonomi yang bisa mereka dapat seandainya toko atau tempat usaha mereka buka.Agus Mulyadihttp://www.blogger.com/profile/04176451251169164564noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-5167144612942352996.post-8708928585599744722021-12-09T02:45:00.000+07:002021-12-09T02:45:00.278+07:00Azis Sayur Menuju DoktorKawan saya satu tongkrongan yang kebetulan juga sesama klan <a href="https://id.wikipedia.org/wiki/Kaliangkrik,_Magelang">Los Kaliangkrikos</a>, <a href="https://www.facebook.com/azis.ahmad.370">Azis Ahmad</a> baru saja lolos seleksi wawancara untuk program doktorar luar negeri beasiswa santri. Jika tak ada aral yang melintang, ia akan segera menempuh pendidikan S3-nya di Leiden University atau Australian National University.
<br/><br/>
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEipU5CTj9_oI8NLRJvY2AtTMbON8qCzhcsMi4YqUkeXtMEZVc9fXDP8YQOwSHNOumtBF5V1nLjkxM8AVNb1Ou13wUakCLOMmflLY4-l0bM42ScOC03g1R4xfQ8qd9wkHaX5jyA-K4W60E0/s0/azis.jpeg"><img alt="azis sayur" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEipU5CTj9_oI8NLRJvY2AtTMbON8qCzhcsMi4YqUkeXtMEZVc9fXDP8YQOwSHNOumtBF5V1nLjkxM8AVNb1Ou13wUakCLOMmflLY4-l0bM42ScOC03g1R4xfQ8qd9wkHaX5jyA-K4W60E0/s0/azis.jpeg"/></a>
<br/><br/>
Tentu saja saya, Fairuz, Anwar, Dafi, Ubaidillah, Joko, dan kawan-kawan satu tongkrongan yang lain akan merasa kehilangan. Namun pastilah itu jenis kehilangan yang menyenangkan. Kehilangan yang layak untuk dirayakan, sebab tak ada yang lebih membuat hati bahagia ketimbang melihat kawan yang menemani kita bisa bertumbuh.
<br/><br/>
Setelah sebelumnya ditinggal <a href="https://crcs.ugm.ac.id/azis-anwar-fachrudin/">Azis</a> yang Anwar Fachruddin ke ASU alias Arizona State University, sekarang kami harus siap ditinggal oleh Azis yang lain, Azis yang selalu kami panggil dengan panggilan “Azis Sayur”, sebab ia punya usaha kedai sayuran segar di Jogja yang ia ambil langsung dari petani Kaliangkrik.
<br/><br/>
Azis adalah sosok yang baik. Ia setia kawan. Dialah yang menyuplai nyaris seluruh kebutuhan sayur keluarga saya saat kami terkena Covid-19 pada pertengahan tahun 2021 lalu. Ia punya cita-cita yang besar, ia ingin membantu mbayari sebanyak mungkin anak-anak dari daerahnya untuk mondok.
<br/><br/>
Saya dan kawan-kawan tentu berharap Azis bisa segera berangkat ke luar negeri, lulus, lalu pulang dan bercerita banyak hal pada kami di atas kursi <a href="https://g.page/basabasiconcat?share">kafe Basabasi Condongcatur</a> tempat biasa kami nongkrong.
<br/><br/>
Saat itulah, kami sudah menyiapkan nama panggilan baru untuknya: Azis Vegetables.Agus Mulyadihttp://www.blogger.com/profile/04176451251169164564noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-5167144612942352996.post-12025681469834621362021-11-21T19:14:00.003+07:002021-11-21T19:16:41.824+07:00Loving RusdiDalam film “Loving Pablo”, —film tentang Pablo Escobar, gembong narkoba paling dahsyat dan brutal itu— yang saya tonton beberapa waktu yang lewat, ada satu scene yang bagi saya punya arti begitu dalam dan sentimentil. Adegan saat si Pablo Escobar menangis karena tak bisa mengantar putri kesayangannya, Manuela, pergi ke alun-alun membeli es krim karena ia harus mendekam di penjara.
<br/><br/>
Don Pablo, begitu julukannya, lelaki yang pernah menjadi salah satu orang terkaya di negaranya, lelaki yang pernah memasok 80 persen kebutuhan kokain amerika serikat, lelaki yang punya banyak pasukan dan sicario (pembunuh bayaran) yang siap mati untuknya, lelaki yang memimpin salah satu kartel narkoba terbesar di dunia, ternyata menangis karena tak bisa mengantar putri kesayangannya membeli es krim.
<br/><br/>
Bagi Pablo, mengantarkan putrinya membeli es krim adalah soal harga diri sebagai seorang ayah. Dan ketika hal itu tak sanggup ia jalani, rubuh harga diri itu.
<br/><br/>
Dan kita semua tahu, ketika harga diri rubuh, tak ada hal lain yang bisa dilakukan selain menangis.
<br/><br/>
Di belahan bumi yang lain, saya pernah melihat adegan yang tak kalah sentimentil tentang urusan harga diri.
<br/><br/>
Lelaki itu bernama <a href="https://rusdimathari.wordpress.com/">Rusdi Mathari</a>. Ia tentu saja bukan kartel narkoba seperti Pablo Escobar, potongannya sangat tidak meyakinkan untuk ukuran seorang kartel. Ia adalah penulis dan wartawan. Salah satu yang terbaik yang pernah dimiliki negeri ini.
<br/><br/>
Baginya, menulis tentu saja adalah perkara harga diri. Menulis adalah pekerjaannya. Dari menulis itu, ia bisa memberikan apa saja untuk anak dan istrinya.
<br/><br/>
Bahkan dalam kondisi yang sakit, ia tetap ingin bisa menulis.
<br/><br/>
“Saya harus mengetik, harus bertahan dan hidup, menulis adalah pekerjaan saya. Karena Itu saya mencoba menulis menggunakan gajet, meskipun hanya dengan satu jari. Tangan kiri memegang gajet, jempol tangan kanan mengetik.”
<br/><br/>
Dan, pada suatu ketika, pemandangan itu saya lihat saat saya dan <a href="https://id.wikipedia.org/wiki/Puthut_EA">Puthut EA</a> menjenguk dirinya di rumahnya. Di ranjangnya, ia hanya berbaring lemah. Tangannya susah digerakkan. Dalam kondisi tersebut, air matanya mengalir. Ya, ia menangis. Rusdi Mathari menangis.
<br/><br/>
“Aku wis gak iso nulis, Thut, Gus…” ujarnya lirih. “Tanganku iki wis gak iso gerak.”
<br/><br/>
Saya ikut menangis. Saya melihat bagaimana harga diri itu tumbang disertai dengan air mata.
<br/><br/>
Kelak, sosok yang menangis karena tak bisa menulis itu akhirnya <a href="https://nasional.tempo.co/read/1065974/wartawan-senior-rusdi-mathari-meninggal">berpulang</a>. Namun begitu, tentu saja tulisannya akan terus abadi. Sebab ada banyak kawan baik yang terus menjaga, menerbitkan, menyebarkan, dan merayakan <a href="https://bukumojok.com/penulis/rusdi-mathari/">tulisan-tulisannya</a>.Agus Mulyadihttp://www.blogger.com/profile/04176451251169164564noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-5167144612942352996.post-60506351857458737842021-11-14T03:15:00.003+07:002021-11-14T03:16:32.757+07:00Find Our Love Again: 30 Tahun Rekam Jejak PowerslavesKalau ditanya apa band dalam negeri favorit saya, maka saya tak ragu menyebut dua band ini: Dewa19 dan Powerslaves. Kalau salah satu dari dua band ini konser di Jogja, Magelang, atau kota-kota-kota lain yang relatif mudah untuk saya jangkau, maka sebisa mungkin saya akan menyempatkan diri untuk menontonnya. Saya menyukai Dewa19 sejak SD, sedangkan Powerslaves sejak SMP.
<br/><br/>
Ada beberapa persamaan unik yang kebetulan ada dalam dua band ini.
<br/><br/>
Pertama, baik Dewa19 maupun Powerslaves digawangi oleh drummer yang sama: Agung Yudha alias Agung Gimbal.
<br/><br/>
Tak banyak yang tahu bahwa Agung Yudha, selain menjadi drummer Dewa 19 (dan juga Ari Lasso Band), juga masih berstatus sebagai drummer Powerslaves. Walau dirinya sudah sangat jarang manggung bersama Powerslaves dan nyaris selalu digantikan oleh additional player, namun ia tetaplah drummer utama Powerslaves.
<br/><br/>
Yang kedua, Dewa19 maupun Powerslaves sama-sama punya perjalanan karier yang kelak membuat mereka punya dua vokalis yang legendaris dengan masing-masing karakter suara yang khas.
<br/><br/>
Dewa punya Ari Lasso dan Once, sedangkan Powerslaves punya Njet dan Heydi Ibrahim.
<br/><br/>
Ketiga, dua band ini sama-sama punya satu sosok yang membantu mereka untuk mengorbit di Jakarta. Dewa19 dibantu oleh Harun, teman sekolah Wawan yang memberikan modal sebesar 10 juta rupiah untuk membantu Dewa19 rekaman di Jakarta. Sementara Powerslaves banyak dibantu oleh Gilang Ramadhan, sosok yang sangat berjasa bagi Powerslaves dalam merintis karier di Jakarta, ia bahkan merelakan rumahnya sebagai tempat tinggal personel Powerslaves selama di Jakarta.
<br/><br/>
Kisah tentang Dewa19 tentu sudah banyak diketahui. Biografinya pun ada, dari yang versi buku “Manunggaling Dewa Ahmad Dhani” sampai yang versi nylempit di buku “Indonesian Song Book I”. Bahkan kalau mau yang lebih dramatik, ada versi sinetronnya yang dulu tayang sekitar tahun 2004 di Trans TV dan sempat ramai karena digugat oleh Erwin Prasetya itu.
<br/><br/>
Nah, kalau untuk Powerslaves, saya nyaris tak pernah mengetahui dengan lengkap. Selain dari postingan-postingan grup Facebook dan website <a href="https://www.keretarocknroll.biz/">Kereta Rock n Roll</a> (Manajemen Powerslaves), informasi lain yang bisa saya jadikan sebagai sumber informasi untuk mengulik band kesayangan ini nyaris hanya dari video-video vlog yang dibikin oleh personel Powerslaves di kanal Youtube dan media sosial mereka masing-masing.
<br/><br/>
Maka, ketika Powerslaves akhirnya merilis buku catatan perjalanan mereka untuk menandai 30 tahun mereka berkarya, saya girang setengah mampus dan tak butuh waktu lama untuk langsung ikut PO.
<br/><br/>
Apalagi, dari berbagai siaran langsung Instagram untuk menyambut peluncuran buku ini, para personel mengatakan bersedia buka-bukaan tentang perjalanan band yang menjadi sangat besar karena lagu “Find Our Love Again” ini.
<br/><br/>
Beberapa hari yang lalu, buku ini akhirnya tiba. Tepat ketika saya membuka paket tersebut, saya membatin pelan, “Ini dia, buku yang sudah saya tunggu belasan tahun lamanya.”
<br/><br/>
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjeKoOJUcuIAYRSTKHDYq9KTMiGxUha6MCrSfBr61O8uRMX5MlHXfQM8TI2kdNOeJDnNTW4ArzQDcm2FmtwEjCNbtLqH-fKGi4PTAs9rtlz2FPKKoON9I2sZlb79ER9csW_7xfT1gfo6P0/s0/find+our+love+again.jpeg"><img alt="buku find our love again" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjeKoOJUcuIAYRSTKHDYq9KTMiGxUha6MCrSfBr61O8uRMX5MlHXfQM8TI2kdNOeJDnNTW4ArzQDcm2FmtwEjCNbtLqH-fKGi4PTAs9rtlz2FPKKoON9I2sZlb79ER9csW_7xfT1gfo6P0/s0/find+our+love+again.jpeg"/></a>
<br/><br/>
Buku berkelir hitam itu langsung saya hirup. Aroma kertasnya amat menyenangkan. Saya membawanya berlari dengan girang menuju ruang tengah untuk segera saya baca.
<br/><br/>
Sambil membuka preview halaman per halaman, saya tak bisa menahan mulut saya untuk berteriak, “Lima tahun yang lalu, kumainkan musikku, dalam kamar tidur milikku, oh yeaaaaah... Led Zeppelin idolaku, bikin marah papaku…”
Agus Mulyadihttp://www.blogger.com/profile/04176451251169164564noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-5167144612942352996.post-60442021484127967082021-10-15T02:24:00.002+07:002021-10-25T02:41:35.507+07:00Kritik, Fakta, Fiksi: Buku “Mahal” Bre RedanaRabu kemarin, saya mendapatkan kehormatan karena menjadi pembedah buku barunya <a href="http://breredana.com">Pak Bre Redana</a> “Kritik, Fakta, Fiksi”. Tentu saja saya gentar ketika mula-mula pihak penerbit meminta saya untuk menjadi pembedah buku tersebut.
<br /><br />
Alasan pertama sudah pasti adalah faktor Pak Bre Redana sendiri. Ia penulis yang saya yakin semua orang tak akan berani meragukan kualitas tulisannya. Ia legendanya legenda. Core of the core. Kalau merunut pada ucapan Jacob Oetama yang berkali-kali mengatakan bahwa roh koran adalah kebudayaan, maka tak berlebihan bila Bre Redana, yang mengurus kolom budaya di Kompas bertahun-tahun lamanya itu adalah sebagian dari roh Kompas.
<br /><br />
Alasan kedua karena ini adalah acara mahal. Buku Pak Bre dibikin dalam dua versi: versi reguler dan versi premium. Nah, versi premium ini dikemas secara kolaboratif dengan artwork karya perupa Ronald Apriyan dan dicetak hanya 100 copy dan dijual masing-masing 3 juta rupiah, dan semuanya sold out. Sementara artwork aslinya dilelang dan laku 300 juta. Maka, menjadi pembedah di acara “600 juta” tentu adalah beban besar.
<br /><br />
Alasan ketiga tentu saja karena tamu undangan yang hadir. Musabab ini acara terbatas, maka jumlah pesertanya tak lebih dari 30, dan sialnya, 30 orang ini adalah mereka kalangan penulis, seniman, kolektor, sampai budayawan. Nyaris kesohor semua. Beberapa nama yang saya tahu misalnya ada Gus Muh, Mahfud Ikhwan, Agus Noor, Delia Murwihartini, Putu Sutawijaya, sampai presiden lima gunung Tanto Mendut.
<br /><br />
Tiga alasan itu sepatutnya sudah cukup untuk membuat saya menolak tawaran terhormat itu. Namun Eka (pemilik <a href="https://pojokcerpen.com/">Penerbit Tanda Baca</a>) dan Pak Bre sendiri ternyata bersikukuh agar bukunya itu dibedah oleh penulis muda, dan saya dianggap pas. Pada akhirnya, demi rasa hormat saya kepada Pak Bre Redana —dan juga honor yang lumayan, tentu saja— saya menerima jua tawaran (beraroma paksaan) itu.
<br /><br />
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiQfmyZmmcYJV92_ygO87u_EoB7C2srwgQN-wCKFJzvhD4M-Vy2L4BwpgyH_KqtMH1t22OC81FRdIgZHbxPDvkvamDlGkpZJEmiJpqUPm4qIkWKZeTxSe5-OnlyQKFCaBjYvLyB-H0ffnc/s0/CFBA367D-9880-477B-84AF-9BB4836E2C3C-1993-0000015E84D6E6BB.JPG"><img alt="agus mulyadi bre redana" border="0" data-original-height="1184" data-original-width="1776" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiQfmyZmmcYJV92_ygO87u_EoB7C2srwgQN-wCKFJzvhD4M-Vy2L4BwpgyH_KqtMH1t22OC81FRdIgZHbxPDvkvamDlGkpZJEmiJpqUPm4qIkWKZeTxSe5-OnlyQKFCaBjYvLyB-H0ffnc/s0/CFBA367D-9880-477B-84AF-9BB4836E2C3C-1993-0000015E84D6E6BB.JPG" /></a>
<br /><br />
Sehari semalam saya dibikin gugup dan gelisah demi mempersiapkan materi pembedahan di acara peluncuran buku ‘Kritik, Fakta, Fiksi’ ini. Beruntung, acara berjalan dengan lancar, kelewar lancar malah. Saya juga merasa cara membedah saya tidak buruk-buruk amat.
<br /><br />
‘Kritik, Fakta’ Fiksi’ merupakan buku yang berisi kumpulan Pak Bre Redana di rubrik Udar Rasa dari tahun 2017-2020. Pembaca setia rubrik itu pasti tahu bagaimana kualitas tulisan Pak Bre yang selalu penuh dengan permenungan yang sarat akan kejutan dan lompatan.
<br /><br />
Ia misalnya, menulis tentang kemacetan di Jakarta yang membuat mobil maksimal hanya bisa melaju pada kecepatan 20 km per jam. Pak Bre kemudian membandingkannya dengan kecepatan kereta kuda pada masa-masa awal jalan raya Anyer-Panarukan yang ternyata tak jauh beda, yakni 18-20 km per jam. Hal yang kemudian memunculkan kegelisahan sebab transportasi kita yang selama ini kita anggap melesat menuju era modern, pada kenyataannya belum beranjak banyak dari kehidupan transportasi 300 tahun yang lalu.
<br /><br />
Atau tengoklah betapa halusnya Pak Bre membuka sudut pandang baru tentang Solo yang pada beberapa aspek, cukup diuntungkan dengan rivalitas antara Kasunanan Surakarta dan Kadipaten Mangkunegaran. Alasannya sederhana, dua entitas kerajaan tersebut sama-sama menempatkan kebudayaan sebagai sesuatu yang sentral, sehingga persaingan keduanya justru menghasilkan produk kebudayaan yang nyata, Pak Bre mencontohkannya dengan Kasunanan yang membangun Taman Sriwedari yang kemudian disaingi oleh Mangkunegaran yang membangun Taman Balekambang.
<br /><br />
Sebagai pembaca tulisan-tulisan Umar Kayam, bagi saya, tulisan-tulisan Pak Bre ini sangat sedap untuk dibaca. Ada banyak kosakata bahasa Jawa yang sengaja dipertahankan oleh Pak Bre. Timbang nglangut, dheleg-dheleg, mbelgedes, waton sulaya, dan sederet kosakata bahasa lainnya bisa ditemukan dengan cukup intens dalam tulisan-tulisan di buku ini. Pak Bre bahkan lebih suka menggantikan istilah “post-truth” dengan “pasca-kasunyatan” dalam tulisan-tulisannya.
<br /><br />
Layout buku ini juga menyenangkan. Sebagai mantan layouter, saya bisa menyebut bahwa ini buku yang lux. Dengan font utama libre baskerville, buku ini dicetak dengan bookpaper 72 gram dan kertas cover old mill berkuping, hal yang membuatnya serupa kitab suci yang wajib bagi pembacanya berwudhu dahulu sebelum menyentuhnya.
<br /><br />
Jika Anda tertarik ingin membeli buku ‘Kritik, Fakta, Fiksi’ versi premium, maka mohon maaf, seperti yang sudah saya katakan di awal, versi premium sudah habis terjual. Namun jika Anda menginginkan versi reguler (dan memang hanya itu pilihannya), buku ini bisa dibeli dengan harga 99 ribu. Dan tentu saja, Anda pasti sudah tahu, di mana Anda bisa membali buku keren ini bukan? Yak, tepat sekali, di Akal Buku. Toko buku kecil yang nomor WhatsApp-nya <a href="https://api.whatsapp.com/send/?phone=6282167371000&text&app_absent=0">082167371000</a> itu.
<br /><br />
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg5-0BDlDwfYzs9uAVR-UcWmucaJYT2YUhWK5Y6fwiKc3y_mU8pOdtEzd14YxHKETkexVOecirpSKvzuWFYZzQsgPcVIeMwzeY8c9rNqYRICgZSkQNr6Ej-UcbNy9pe1EhC0wqPT6xaDTQ/s0/1634257015369.JPG"><img alt="buku kritik, fakta, fiksi" border="0" data-original-height="843" data-original-width="1280" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg5-0BDlDwfYzs9uAVR-UcWmucaJYT2YUhWK5Y6fwiKc3y_mU8pOdtEzd14YxHKETkexVOecirpSKvzuWFYZzQsgPcVIeMwzeY8c9rNqYRICgZSkQNr6Ej-UcbNy9pe1EhC0wqPT6xaDTQ/s0/1634257015369.JPG" /></a>
<br /><br />
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgkLz8tLG7TzNFjD2e_vs-hESuWHKgOdg_sJov_2YIiUcwb__n_qHu49Mh9wVsEUztWtK5znaaMqQ61x5sTj1_luxiC1pebZ8iICrVTn7mVppkre-JuExlXaNJTfRUDan__fBDvx9LFIQM/s0/1634257015431.JPG"><img alt="buku kritik, fakta, fiksi" border="0" data-original-height="838" data-original-width="1280" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgkLz8tLG7TzNFjD2e_vs-hESuWHKgOdg_sJov_2YIiUcwb__n_qHu49Mh9wVsEUztWtK5znaaMqQ61x5sTj1_luxiC1pebZ8iICrVTn7mVppkre-JuExlXaNJTfRUDan__fBDvx9LFIQM/s0/1634257015431.JPG" /></a>
<br /><br />
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj663priKGriuGZwB_YchMOEomlwUS1ksYd8gopVoDN9ciHG0TXA1zsxjttu92bfmO1N_7xdQF7aCdpzbEDTk0O3BuhB0F9uxIEWcDIP-BdKsnxWR_K66w0QqETHmFEsCX_TF4yqzP_zVM/s0/1634257015598.JPG"><img alt="buku kritik, fakta, fiksi" border="0" data-original-height="833" data-original-width="1280" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj663priKGriuGZwB_YchMOEomlwUS1ksYd8gopVoDN9ciHG0TXA1zsxjttu92bfmO1N_7xdQF7aCdpzbEDTk0O3BuhB0F9uxIEWcDIP-BdKsnxWR_K66w0QqETHmFEsCX_TF4yqzP_zVM/s0/1634257015598.JPG" /></a>
<br /><br />
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiFj_prixCpYAWZmDuST5zWOmP06YQfe0bwqvR5z08hK1jREDHQGy5Xw01s970s_mStYRJalSn-0Alc_0y_6ISQ78H1OzqqKrfwqc_Ki3R6hmpanA1WTEZDyeVLqK4hJZbYp3UGJqHlojE/s0/1634257015265.JPG"><img alt="buku kritik, fakta, fiksi" border="0" data-original-height="832" data-original-width="1280" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiFj_prixCpYAWZmDuST5zWOmP06YQfe0bwqvR5z08hK1jREDHQGy5Xw01s970s_mStYRJalSn-0Alc_0y_6ISQ78H1OzqqKrfwqc_Ki3R6hmpanA1WTEZDyeVLqK4hJZbYp3UGJqHlojE/s0/1634257015265.JPG" /></a>
<br /><br />
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEikKHcRXEIkmfgWaUEmFNATKel4HRrTcZmzupaHQ1n2Y4G7V9XUueHrVbEzBZiWSiafa7jiMbSWaZI054op3vGcoF9G7NEps6X4PhdIxxGtaCVOhMx2rx_XJp8OAr7BX-FbzHAFRrWIgNc/s0/1634257015286.JPG"><img alt="buku kritik, fakta, fiksi" border="0" data-original-height="863" data-original-width="1280" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEikKHcRXEIkmfgWaUEmFNATKel4HRrTcZmzupaHQ1n2Y4G7V9XUueHrVbEzBZiWSiafa7jiMbSWaZI054op3vGcoF9G7NEps6X4PhdIxxGtaCVOhMx2rx_XJp8OAr7BX-FbzHAFRrWIgNc/s0/1634257015286.JPG" /></a>
<br /><br />
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgaCy4DMRPkmtbYRJwgRV5ZzOv-Dpr8KmVT2dx-_ZaOXUufdJmvAbieianTwhR2_fKzET6nX17T4ZnVDWCmWXBr9P8Odaf2MFWTHr5Gy4VdlCWG6Ap7LfwDQMHbh7WqpdYyHXeMUg60UnQ/s0/1634257015411.JPG"><img alt="buku kritik, fakta, fiksi" border="0" data-original-height="958" data-original-width="1280" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgaCy4DMRPkmtbYRJwgRV5ZzOv-Dpr8KmVT2dx-_ZaOXUufdJmvAbieianTwhR2_fKzET6nX17T4ZnVDWCmWXBr9P8Odaf2MFWTHr5Gy4VdlCWG6Ap7LfwDQMHbh7WqpdYyHXeMUg60UnQ/s0/1634257015411.JPG" /></a>Agus Mulyadihttp://www.blogger.com/profile/04176451251169164564noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-5167144612942352996.post-33420031368368470922021-10-08T01:33:00.002+07:002021-10-08T01:48:31.857+07:00Belajar Menulis Lucu dari Buku ‘Humor Jurnalistik’-nya Mahbub DjunaidiMenulis cerita lucu adalah satu hal, sedangkan menulis lucu adalah level yang lain. Anda mungkin bisa tertawa terbahak-bahak jika melihat langsung saat saya terjatuh terpeleset kulit pisang lalu wajah saya disambut tahi kebo seperti selayaknya adegan-adegan slapstick film Warkop itu. Namun saya yakin, Anda tidak akan tertawa (atau kalaupun tertawa, tidak akan seterbahak-bahak itu) saat adegan tersebut tidak Anda saksikan secara langsung, melainkan hanya Anda ketahui melalui tuturan tulisan.
<br/><br/>
Sebaliknya, Anda mungkin tidak akan tertawa jika berjumpa dengan Karni Ilyas atau David Letterman. Namun, Anda boleh jadi akan tertawa (minimal menyunggingkan senyum) jika Anda menemui Karni Ilyas dan David Letterman tidak secara langsung, melainkan dari narasi tulisan seperti di bawah ini.
<br/><br/>
David Letterman, lelaki bangkotan yang namanya bisa di-Indonesia-kan menjadi Daud Suratman itu adalah presenter yang amat kondang, kelasnya internasional. Kalau di level lokal, ada Karni Ilyas, sosok presenter yang amat berkharisma walau suaranya serak parau dan kalau ngomong harus sering dicicil selayaknya tagihan kulkas dari Columbia itu.
<br/><br/>
Nah, dalam urusan membikin lucu tulisan, saya kira tak ada yang lebih piawai ketimbang Mahbub Djunaidi. Ia, entah kenapa, selalu jenaka ketika memilih kata dan memanfaatkan majas dalam menarasikan sesuatu.
<br/><br/>
‘Sejak muda, saya tidak pernah bisa bermain bola. Ini membuat perasaan rendah diri, seakan-akan kaki saya cuma sebelah. Seringkali saya duduk termenung di tepi lapangan terheran-heran mengenang nasib. Kadangkala ada juga teman berbaik hati mengajak partisipasi. Tentu saja bukan ikut main, melainkan dipersilakan jaga sepeda.’
<br/><br/>
Itu adalah paragraf pembuka yang ia tulis dalam sebuah esai berjudul Kesatria. Bayangkan, hanya dalam paragraf pembuka saja, ia sudah mengemas dua humor sekaligus. “Seakan-akan kaki saya cuma sebelah”, dan “Tentu saja bukan ikut main, melainkan dipersilakan jaga sepeda”.
<br/><br/>
Mahbub sebenarnya cukup saja menuliskan bahwa ia tak pandai bermain sepakbola. Namun bukan Mahbub namanya kalau ia tak menambahkan bumbu humor.
<br/><br/>
Masih dalam esai yang sama, Mahbub menulis demikian: ‘Ada organisasi bernama Our Dumb Friend League, organisasi yang merawat binatang seperti keponakan sendiri.’
<br/><br/>
Ia tak mau menulis Our Dumb Friend League dengan narasi organisasi penyayang binatang, itu terlalu biasa. Dengan sangat jenius, ia menuliskannya dengan “Merawat binatang seperti keponakan sendiri.” Ini tentu level humor yang menyenengkan.
<br/><br/>
Ketika menuliskan aksi demontrasi di Luneta, Manila, Filipina pada 2 Oktokber 1960, alih-alih menggunakan kalimat “Anak-anak muda, dari usia remaja sampai anak ingusan”, Mahbub justru menuliskannya dengan “Berkerumun ratusan anak-anak. Sebagian sudah remaja, sebagian masih mengulum es lilin.”
<br/><br/>
Keparat betul, kenapa ia bisa kepikiran untuk menuliskan narasi ‘mengulum es lilin’ itu?
<br/><br/>
Atau simaklah bagaimana Mahbub menuliskan betapa dahsyatnya Moh. Isnaeni sebagai seorang wartawan itu.
<br/><br/>
‘Moh. Isnaeni bukanlah wartawan sembarang wartawan, melainkan biangnya wartawan. Ibarat beras, dia itu beras Cianjur. Apa yang lebih hebat daripada itu? Tidak ada. Andaikata dia bukan berasal dari Madiun, melainkan dari Isfahan di Iran, berani taruhan, pangkatnya sudah mullah. Ke mana telunjuknya menuding, ke sana orang bergegas, hingga tersandung-sandung.’
<br/><br/>
Mahbub piawai merangkai metafora, alegori, dan asosiasi. Apa yang harusnya serius, di tangannya bisa menjadi jenaka.
<br/><br/>
Tulisan-tulisannya selalu memikat bahkan sejak paragraf pertama. Maka, rasanya tak berlebihan jika saya selalu merekomendasikan buku Mahbub-buku Mahbub Djunaidi.
<br/><br/>
Kemarin, saat nongkrong di kafe Lehaleha milik bos besar Pak Yai Edi “Taipan” Mulyono itu, seorang mahasiswa mendadak mendatangi saya dan meminta tips menulis jenaka. Saya tak punya tips yang jauh lebih masuk akal selain “Baca buku Humor Jurnalistik-nya Mahbub.”
<br/><br/>
Tips itu pula yang sering saya katakan kepada banyak orang, utamanya kalau saya diminta menjadi pemateri tentang penulisan kreatif.
<br/><br/>
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj0TYKKZX8wpU8o4kItikYrKXZQJWV4BB9HhAXYuNIgY-g9aIdMpEbrYtblH2xM2Ad-g2UVde7nvLXxiPHJXSE00t9sFEsTSLzs1zGCqTlUqOb5Y4qIw1883eae84Wk8I7uAgVQ9VsY_0w/s0/11615767-1AFC-4E07-9B69-FAE698B2511E-5570-0000052F52622EE7.JPG"><img alt="humor jurnalistik" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj0TYKKZX8wpU8o4kItikYrKXZQJWV4BB9HhAXYuNIgY-g9aIdMpEbrYtblH2xM2Ad-g2UVde7nvLXxiPHJXSE00t9sFEsTSLzs1zGCqTlUqOb5Y4qIw1883eae84Wk8I7uAgVQ9VsY_0w/s0/11615767-1AFC-4E07-9B69-FAE698B2511E-5570-0000052F52622EE7.JPG"/></a>
<br/><br/>
Bersama Umar Kayam dan Prie GS, Mahbub adalah penulis yang tulisan-tulisannya sering saya baca ulang. Saya banyak belajar menulis lucu dari tulisan-tulisannya, dan merasa sangat terberkati karena diberi kesempatan untuk mengenal kolom-kolomnya.
<br/><br/>
Saya nyaris selalu merasa gagal kalau menulis sesuatu yang serius, ngintelek, ndakik-ndakik, kontemplatif, dan hal-hal luhur lainnya, maka menulis lucu adalah ruang kompetisi yang setidaknya saya merasa tidak gagal-gagal amat. Dan hal itu, sedikit banyak, ada campur tangan tulisan-tulisan Mahbub.
<br/><br/>
Kalau Anda tertarik ingin bisa menulis “lucu”, buku-buku Mahbub, utamanya yang ‘Humor Jurnalistik’ ini tentu layak menjadi bacaan penting bagi Anda. Agus Mulyadihttp://www.blogger.com/profile/04176451251169164564noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-5167144612942352996.post-64860938672362724752021-05-31T23:35:00.003+07:002021-07-07T23:41:09.364+07:00Perihal Buku “Ibu Kemanusiaan: Catatan-Catanan Perempuan untuk 86 Tahun Buya Ahmad Syafii Maarif”Sekira bulan puasa dua tahun lalu, saya bersama kawan-kawan Mojok dan Gusdurian mengunjungi Ahmad Syafii Maarif untuk syuting program “Sowan Kiai”. Kami menemuinya di masjid tak jauh dari rumahnya setelah salat tarawih selesai. Rencananya, kami akan merekam perbincangan kami dengan Syafii Maarif di beranda masjid, namun ia menyarankan agar syuting dipindah saja ke poskamling tak jauh dari masjid.
<br/><br/>
“Di sana lebih enak buat ngobrol santai,” ujarnya.
<br/><br/>
Kami setuju. Kami kemudian berpindah ke poskamling yang jaraknya hanya sepelemparan batu dari masjid. Dan memang benar, poskamling itu jauh lebih memenuhi syarat sebagai set syuting ketimbang beranda masjid, kecuali satu hal, pekarangan di bagian kanan poskamling itu agak kotor karena dipenuhi guguran daun.
<br/><br/>
Kami pun berinisiatif untuk membersihkannya. Namun, belum juga kami selesai meletakkan kamera, tripod, dan berbagai perangkat lainnya, Syafii Maarif, tokoh besar itu ternyata sudah lebih dulu melakukan apa yang ingin kami lakukan. Ia menyapu daun-daun kotor itu lalu memasukannya ke dalam ekrak. Demi melihat adegan itu, saya reflek berusaha merebut sapu itu dan meminta agar saya menggantikannya. “Biar saya saja, Buya,” kata saya.
<br/><br/>
Namun ia menolak. Sambil tersenyum kecil, ia menjawab “Kamu pikir saya nggak bisa nyapu, apa?”
<br/><br/>
Modiar aku.
<br/><br/>
Kelak, saya tahu bahwa sikapnya yang keras dan tak mau merepotkan orang lain itu adalah sikap yang sudah ia praktikkan sejak lama.
<br/><br/>
Zen RS, dalam salah satu tulisannya pernah menceritakan kenangannya saat masih menjadi mahasiswanya Syafii Maarif, ia mengenang bagaimana seorang Syafii Maarif saat itu pernah menolak mentah-mentah saat ada mahasiswanya yang menawarkan diri membawakan tasnya yang berisi makalah.
<br/><br/>
“Anda pikir saya sudah terlalu tua sampai tidak kuat untuk membawa tas?” begitu kata Syafii Maarif.
<br/><br/>
Ahmad Syafii Maarif adalah tokoh yang terbukti teguh memegang komitmen. Saat masih menjabat sebagai Ketua Umum PP Muhammadiyah, ia bahkan masih tetap rajin mengajar sebagai dosen. Masih menurut Zen RS, Syafii Maarif bahkan pernah marah kepada mahasiswanya karena kemampuan bahasa Inggris mahasiswanya berantakan.
<br/><br/>
“Mau jadi sejarawan kok bahasa asingnya kacau. Semester depan saya sendiri yang akan ngajar Bahasa Inggris. Kalian kalau mau ikut silakan masuk,” katanya saat itu yang kemudian benar-benar ia lakukan di semester berikutnya.
<br/><br/>
Ia pun dosen yang amat sangat teliti memeriksa makalah mahasiswanya. “Minggu lalu saya ke Amerika. Makalah kalian saya periksa di dalam pesawat. Jadi tolong jangan sia-siakan waktu saya dengan membuat makalah yang jelek!” Ujarnya suatu ketika kepada para mahasiswanya.
<br/><br/>
Baginya, jabatan adalah amanah yang tak pernah bisa disepelekan. Ia menjalankan tugasnya sebagai ketua umum Muhammadiyah dan juga sebagai dosen dengan penuh kesungguhan. Ia sosok yang selalu menolak tawaran menjadi komisaris BUMN namun gigih memperjuangkan uang royalti bukunya yang hanya mungkin nilainya tak seberapa. Ia bersetia menjadi pribadi yang berintegritas.
<br/><br/>
Hal-hal di atas tentu saja hanya segelintir dari sekian banyak kisah keteladanan tentang seorang Ahmad Syafii Maarif, keteladanan yang memang kelewat akrab, sebab saking banyaknya dan mudah sekali untuk menemukannya.
<br/><br/>
Nah, buku “Ibu Kemanusiaan: Catatan-catatan Perempuan untuk 86 Tahun Buya Ahmad Syafii Maarif” ini pun saya pikir merupakan salah satu potongan kecil katalog kisah-kisah keteladanan Ahmad Syafii Maarif.
<br/><br/>
Bahwa selayaknya buku yang memang diniatkan ditulis untuk mensyukuri ulang tahun seorang Ahmad Syafii Maarif, tentu saja ada banyak sekali puja dan puji untuknya, walau saya yakin, beliau tak lagi membutuhkan itu. Namun demikian, buku ini menjadi penting dan menarik semata karena orang-orang perlu tahu, kenapa seorang Ahmad Syafii Maarif amat berhak atas pujian-pujian itu.
<br/><br/>
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiqaTNODXCIjEELOts6iJ8z2PksJO35UJgwVDXlSTsAuxLwPOoiHPTNeBVcQBqzH3l9gq7subiE-5tRTLIt0oCX4yNLTrVcwXbBV8zuMy-fcoJLE9i9IiQGr7Yi77kJoIHJdTBDmUozTEM/s0/ibu+kemanusiaan.jpeg"><img alt="buku ibu kemanusiaan" border="0" data-original-height="1080" data-original-width="1440" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiqaTNODXCIjEELOts6iJ8z2PksJO35UJgwVDXlSTsAuxLwPOoiHPTNeBVcQBqzH3l9gq7subiE-5tRTLIt0oCX4yNLTrVcwXbBV8zuMy-fcoJLE9i9IiQGr7Yi77kJoIHJdTBDmUozTEM/s0/ibu+kemanusiaan.jpeg"/></a><br/><br/>
Ada begitu banyak jejak dan peran Syafii Maarif terhadap masyarakat dalam kehidupan berbangsa, berpikir, beragama, berpengetahuan, bahkan berkemuhammadiyahan yang ditulis dalam buku ini. Kesan-kesan luhur atas sosok Ahmad Syafii Maarif pun hampir bisa dibaca setiap dua-tiga halaman sekali.
<br/><br/>
Dan tentu saja, hal-hal itu layak untuk diceritakan. Dalam dunia yang semakin semrawut seperti sekarang ini, kisah-kisah tokoh yang penuh dengan keteladanan seperti Syafii Maarif memang akan selalu penting untuk disampaikan. Jika semangat kebangsaan itu selayaknya parfum, maka Syafii Maarif pastilah biangnya.
<br/><br/>
Satu hal yang unik dari buku ini, jika saya membandingkannya dengan buku ‘Gus Dur di Mata Perempuan’ (yang kebetulan sama-sama ditulis oleh sekelompok perempuan, dikatapengantari oleh perempuan, serta diedit oleh perempuan), adalah munculnya kritik dari para perempuan terhadap Syafii Maarif.
<br/><br/>
Dalam buku ‘Gus Dur di Mata Perempuan’, para penulisnya (Ida Fauziah, Andree Feilard, Lily Zakiah Munir, dll) menyampaikan tentang Gus Dur sebagai sosok yang amat progresif utamanya dalam hal kesetaraan gender. Sedangkan buku ‘Ibu Kemanusiaan’ justru menjadi buku yang “agak” mengkritik Syafii Maarif yang dianggap sangat sering menulis tentang isu kebangsaan, Islam, dan demokrasi namun sangat jarang menulis tentang isu kesetaraan gender. Padahal, dalam urusan kesetaraan gender, Ahmad Syafii Maarif adalah juga sosok yang progresif. Ia sangat menjunjung tinggi kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Lebih lanjut, Syafii Maarif juga dikenal sebagai tokoh yang terus mendorong adanya upaya reinterpretasi terhadap ayat Al-Quran Arrijalu qowwamuna 'alannisa (Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum perempuan) untuk mewujudkan semangat kesetaraan.
<br/><br/>
Sayang, sikap keberpihakan terhadap kesetaraan gender tersebut jarang diungkapkan oleh Syafii Maarif yang justru lebih banyak menulis tema-tema kebangsaan, islam, dan juga demokrasi. Nah, itulah yang kemudian membuat Syafii Maarif agak “dikritik” dalam buku ini.
<br/><br/>
Direktur eksekutif Woman Research Institute Sita Aripurnami, misalnya, menuliskan harapannya dalam tulisannya di buku ini agar Syafii Maarif lebih banyak menulis tentang perjuangan kemanusiaan perempuan. Hal serupa juga disampaikan oleh Direktur Eksekutif Democracy and Electoral Empowerment Partnership yang juga aktif sebagai anggota Lembaha Hukum dan Publik PP Muhammadiyah dan aktivis Nasyiatul Aisyiyah Neni Nur Hayati yang agak “menyayangkan” Syafii Maarif karena belum melahirkan buku yang secara khusus membahas dan konsen terhadap isu-isu perempuan dan kesetaraan gender utamanya dalam perspektif demokrasi.
<br/><br/>
Munculnya kritik-kritik (di sampung segala puja-puji terhadap Syafii Maarif) dalam buku ini kemudian terasa menjadi semacam lanjutan kritik KH. Husein Muhammad atas karya Syafii Maarif (KH. Husein Muhammad pernah mengkritik buku Syafii Maarif ‘Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan’ karena sama sekali tidak membahas kesetaraan gender dan posisi perempuan dalam Islam. Kritik yang kemudian membuat Syafii Maarif kemudian memasukkan satu bab khusus tentang kesetaraan gender dalam buku yang sama pada cetakan berikutnya).
<br/><br/>
Bagi saya, munculnya kritik dalam buku ini justru menjadi bukti bahwa banyak orang yang menyayangi Syafii Maarif, sebab toh bagi seorang Syafii Maarif, kritik merupakan tanda sayang dan rindu.
<br/><br/>
Pada akhirnya, buku ini saya anggap sangat berhasil sebagai hadiah ulang tahun ke-86 untuk Syafii Maarif. Tak ada yang lebih menyenangkan bagi seseorang yang sedang berulang tahun selain mendapatkan doa-doa yang baik, disertai dengan kritik-kritik yang baik pula.
<br/><br/>
Selamat ulang tahun, Buya.
<br/><br/>
(Hari ini, Ahmad Syafii Maarif berulang tahun yang ke-86, mari kita sejenak mendoakan beliau agar terus sehat dan panjang umur.)Agus Mulyadihttp://www.blogger.com/profile/04176451251169164564noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-5167144612942352996.post-82191751780337689452021-03-08T05:19:00.007+07:002021-03-08T05:19:36.293+07:00Ajining Raga saka BusanaJangan menilai seseorang dari pakaiannya, tapi nilailah dari hati, sifat, kelakuan, dan perangainya.
Terlihat mudah, tapi nyatanya sangat sulit. <div><br /></div><div>Ada banyak orang yang tak punya cukup waktu untuk bisa menilai kita dari hati, sifat, kelakuan, dan perangainya. </div><div><br /></div><div>Maka, salah satu jalan pintasnya ya lewat pakaian.
Itulah sebabnya kenapa kalau interview kerja kita harus datang dengan pakaian yang tertib, kenapa kalau kita datang bertamu ke rumah seseorang kita sebaiknya menggunakan busana yang rapi, kenapa kalau kita datang ke rumah seseorang untuk melamar harus berpakaian yang sopan. </div><div> </div><div>Bahkan saat sholat, meratap pada Gusti Alloh, entitas yang sudah pasti tahu bagaimana hati, sifat, dan perangai kita, kita tetap diperintahkan untuk menggunakan pakaian yang bersih, yang baik. </div><div><br /></div><div>Kalau kata pepatah Jawa, "Ajining Diri saka Lathi, Ajining Raga saka Busana".</div><div><br /></div><div>Jadi kalau ada yang menganggap kita adalah orang yang urakan, tak bisa diharapkan, dan tidak teratur, hanya karena pakaian yang kita kenakan berantakan, maka mereka tidak sepenuhnya salah.</div>Agus Mulyadihttp://www.blogger.com/profile/04176451251169164564noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-5167144612942352996.post-58125548074445268962020-06-23T03:08:00.001+07:002020-06-23T03:08:19.144+07:00Selamat Jalan, Erwin PrasetyaSelalu ada kesedihan ketika personel band yang sangat kamu idolakan meninggal dunia. Terlebih ketika band itu adalah band yang lagu-lagunya menghiasi masa kecil dan remajamu. Band yang konser-konsernya paling banyak kamu tonton ketimbang band lain mana pun.<br />
<br />
Kesedihan itu menjadi kesedihan yang berlipat, tatkala personel itulah yang membikin lagu-lagu yang kamu anggap terbaik dari sekian banyak lagu dari band yang kamu idolakan itu.<br />
<br />
Pagi ini, jenis kesedihan itu mampir masuk ke dalam diri saya. Erwin Prasetya meninggal.<br />
<br />
Ini kesedihan yang sentimentil sebagai Baladewa garis miring. Lima lagu Dewa 19 yang paling saya sukai adalah Restoe Boemi, Mistikus Cinta, Bayang-Bayang, Swear, dan Still I’m Sure We’ll Love Again. Dan dari lima itu, dua di antaranya ditulis oleh Erwin.<br />
<br />
Sugeng tindak, Erwin Prasetya. Sosok yang tak pernah saya anggap sebagai mantan personel Dewa 19. Sampai akhir hayatnya, Ia tetap personel Dewa 19.<br />
<br />
Sampai kapan pun, huruf “E” pada Dewa 19 akan selalu mewakili namanya.<br />
<br />
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgY-uNnKVoitE557Tvq5_WrTVY1qm8cP4qq6slCHqT1fl7WkPbvuEjL1y5YKETEUIbi5BIPTKkZMRInfqULGpC6Hb_JIfwFlrv2zsnoFOmIMEbG9Ioh9TATwKGLZnnWO5QM1l4XeyGtNQM/s1600/dewa+19.jpg" imageanchor="1" ><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgY-uNnKVoitE557Tvq5_WrTVY1qm8cP4qq6slCHqT1fl7WkPbvuEjL1y5YKETEUIbi5BIPTKkZMRInfqULGpC6Hb_JIfwFlrv2zsnoFOmIMEbG9Ioh9TATwKGLZnnWO5QM1l4XeyGtNQM/s1600/dewa+19.jpg" data-original-width="750" data-original-height="567" /></a>Agus Mulyadihttp://www.blogger.com/profile/04176451251169164564noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-5167144612942352996.post-75562217749807823282019-07-05T20:53:00.002+07:002019-07-05T20:53:41.488+07:00Jangan Pernah Takut Meng-Unfriend atau Mem-Block Kawan di FacebookKemarin, saya dicurhati oleh seorang kawan yang merasa sangat stress dan tidak jenak bermain Facebook karena harus selalu berinteraksi dengan orang-orang yang membuat dirinya tidak nyaman.<br />
<br />
Ketika saya tanya, dia lantas menyodorkan daftar nama-nama kawan yang menurutnya adalah sosok-sosok yang keterlaluan, sosok yang kalau membalas status selalu dengan nada ketus, yang kalau bercanda selalu kelewatan, yang kata-katanya sering bikin hati sakit.<br />
<br />
Curhatan dia membuat saya mau tak mau harus memberikan dia nasihat yang juga sering saya berikan pada orang-orang dengan masalah serupa: jangan takut dan ragu memutus rantai hubungan per-Facebook-an dengan orang-orang yang membuatmu tak nyaman.<br />
<br />
Bagi saya, Facebook adalah tempat orang bisa mencari hiburan, mencari solusi atas banyak permasalahan, mencari kawan baru, mencari bahan tulisan, membangun relasi, berjualan, dan sebagainya.<br />
<br />
Facebook menawarkan kita banyak tujuan, dan stress seharusnya bukan salah satunya.<br />
<br />
“Kalau memang kamu tidak nyaman dengan orang itu, ya unfriend saja, jangan takut,” kata saya.<br />
<br />
Bagi saya, setiap orang berhak untuk mengunfriend siapa saja di Facebook. Memang untuk itulah tombol unfriend dibikin. Tak perlu rasa ewuh-pekewuh jika memang itu penting untuk dilakukan. Facebook hanya membatasi pertemanan sebanyak lima ribu orang, jadi sebisa mungkin, lima ribu orang tersebut harus diisi oleh orang-orang yang berkualitas dalam pertemanan. Orang-orang yang memang terbukti mampu bikin kita berkembang, bikin kita senang, bikin kita tambah pinter, bukannya malah bikin stress dan banyak pikiran.<br />
<br />
Saya tak pernah merasa ragu kalau harus meng-unfriend kawan-kawan Facebook saya, utamanya yang memang sudah lama tidak aktif, atau terlalu sering membikin atau membagikan status-status yang membuat saya tidak nyaman.<br />
<br />
Kalaupun memang berat untuk mengunfriend, Facebook masih memberi kita opsi lain, yakni tetap berteman tapi tidak mengikuti. Ini artinya, kita berteman dengan seseorang, namun status-statusnya tidak muncul di beranda kita.<br />
<br />
Secara prinsip, Facebook memang sudah memfasilitasi banyak hal untuk mengatur privasi pertemanan kita. Kita bisa menyembunyikan status kita, bisa membuat status kita hanya dibaca oleh orang-orang tertentu, membuat status kita tidak bisa dibaca oleh orang-orang tertentu, dan sebagainya. Semua kendali pertemanan ada di tangan kita.<br />
<br />
Kalau memang sudah keterlaluan, Facebook juga sudah menyediakan kita fitur block. Jangan pernah ragu untuk memanfaatkan fitur ini.<br />
<br />
Banyak orang yang bilang bahwa orang yang suka nge-block adalah orang yang tidak open minded, tidak mau menerima orang lain. Bagi saya, setiap orang memang berhak untuk mau menerima siapa saja yang memang ingin ia terima.<br />
<br />
Suka nge-block bagi saya tidak berpengaruh pada kebijaksanaan seseorang.<br />
<br />
Saya kerap mem-block orang di Facebook. Alasannya beragam, dari mulai menyebalkan, sampai pada hal yang sifatnya pribadi.<br />
<br />
Saya, misalnya, pernah mem-block seseorang karena ia berkali-kali menyebut saya sebagai kader PKS dalam kolom komentar Facebook saya. Sekali dua kali, mungkin masih wajar, tapi ia melakukannya berkali-kali, dan itu membuat saya terganggu. Saya bukan kader PKS, bahwa saya pernah diundang berkali-kali di acara PKS, itu benar, tapi saya bukan kader PKS. Bagi saya, status itu penting, sebab itu berpengaruh pada penilaian orang tentang pekerjaan sebagai seorang pekerja media. Itu pula sebabnya akhirnya saya memutuskan untuk mem-block orang tersebut.<br />
<br />
Kali lain, juga pernah mem-block orang yang menanyakan pertanyaan yang keterlaluan. Dengan enteng di bertanya, “Gus, kamu kalau ciuman sama pacarmu, biasanya di mana?” Itu bukan saja pertanyaan yang bodoh, tapi juga sangat tidak sopan.<br />
<br />
Saya tak nyaman dengan orang yang terlalu blak-blakan tanpa filter seperti itu, maka ia saya pikir sangat layak untuk saya block. <br />
<br />
Saya juga pernah (khusus yang ini, malah sering) mem-block orang yang sering mencandai saya dengan kondisi fisik saya. Jujur, saya orang yang cukup terbuka dan senang-senang saja dengan kekurangan (atau malah kelebihan?) fisik saya. Mulut saya yang trengginas dan progresif ini memang rentan membuat orang gatel untuk bikin guyonan fisik. Saya tidak pernah mempermasalahkan hal tersebut, wong ya saya sering juga mencandai kawan-kawan saya dengan cara serupa. Hanya saja, jika yang mencandai saya itu orang yang bahkan kenal saja tidak, maka itu keterlaluan namanya. Kenal enggak, ketemu juga belum pernah, tapi sok-sokan akrab dengan bercanda menggunakan kekurangan (sekali lagi, atau malah kelebihan) fisik saya.<br />
<br />
Orang-orang seperti ini, sekali lagi, sangat layak untuk saya block.<br />
<br />
Nah, kita semua selalu punya kebebasan untuk mengatur hubungan kita dengan orang lain di Facebook, termasuk kebebasan untuk mengatur kenyamanan kita.<br />
<br />
Kenyamanan itu bukan hal yang harus selalu ditunggu, pada titik tertentu, kenyamanan adalah hal yang harus kita ciptakan sendiri.<br />
<br />
Jangan pernah takut meng-unfriend dan mem-block orang lain di Facebook. Kadang, kita memang perlu untuk lebih memikirkan diri kita sendiri, ketimbang memikirkan orang lain.Agus Mulyadihttp://www.blogger.com/profile/04176451251169164564noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-5167144612942352996.post-78936428511468208922019-05-31T21:20:00.002+07:002019-05-31T21:20:33.673+07:00Memaknai MudikKau boleh saja menunaikan salat subuh di Masjidil Haram, salat duhur di mushola kecil di salah satu sudut pusat perbelanjaan, salat asar di rest area tepi jalan Pantura, salat magrib di Masjidil Aqsa, salat isya di kamar kos yang bau dan butut, atau salat tarawih di Pelataran Monas. Tapi khusus untuk Salat Ied, tak ada tempat yang lebih baik ketimbang halaman masjid di kampung kelahiranmu.<br />
<br />
Sesukses apa pun kau di rantau, jangan lupa untuk mudik. Sebobrok apa pun kau di rantau, jangan malu untuk mudik. Cium tangan ibumu, cium tangan bapakmu, pijak tanah kelahiranmu. Boleh jadi, kepulanganmu menjadikan berkah untuk kesuksesanmu atau solusi bagi kebobrokanmu.<br />
<br />
Temui kakek dan nenekmu jika mereka masih hidup, temui kerabat-kerabat sebaya mereka. Biarkan mereka membalurimu dengan doa sederhana yang luar biasa: “Mugo dosamu, dosaku, dilebur ing dino bodo iki, Mugo aku lan awakmu iso menangi bodo ngarep.” <br />
<br />
Doa sederhana yang bisa jadi adalah musabab kita belum akan mampus setidaknya sampai lebaran tahun depan.Agus Mulyadihttp://www.blogger.com/profile/04176451251169164564noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-5167144612942352996.post-43302671544053739912019-04-15T19:44:00.000+07:002019-04-15T19:44:55.417+07:00Tips Memilih Caleg Dengan Selemah-Lemahnya Iman<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjTEESLEG8Az7_z4XGZ6UdJKzCoIDXhqjymtW_We3x_rfHZgp12fthfI4_tWfNrjJ0z7teIEmUeLY3-FhNDon76wa1lvOUKwAPMuF86QueTOZm6N9iMRy5yJ0T7wocABGM9UTep6-aMqXc/s1600/fullsizeoutput_4a8.jpeg" imageanchor="1" ><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjTEESLEG8Az7_z4XGZ6UdJKzCoIDXhqjymtW_We3x_rfHZgp12fthfI4_tWfNrjJ0z7teIEmUeLY3-FhNDon76wa1lvOUKwAPMuF86QueTOZm6N9iMRy5yJ0T7wocABGM9UTep6-aMqXc/s1600/fullsizeoutput_4a8.jpeg" data-original-width="1600" data-original-height="1323" /></a><br />
<br />
Pileg (dan Pilpres) hanya tinggal menunggu hari. Minggu depan, kita akan memilih wakil-wakil kita di DPRD dan DPR. Bagi sebagian orang, mencoblos Caleg adalah hal yang mudah. Namun bagi sebagian yang lain, ia menjadi hal yang begitu sulit dan dilematis. <br />
<br />
Saya kenal dengan beberapa orang baik yang kebetulan ikut maju sebagai caleg di Pileg 2019 mendatang. Orang-orang yang saya yakin mereka punya kompetensi dan tekad yang baik untuk bisa bekerja sebagai wakil rakyat.<br />
<br />
Kokok Dirgantoro, misalnya. Lelaki paruh baya yang dulu sering nulis buat Mojok tapi sekarang tidak pernah ini adalah salah satu caleg yang ikut bertarung di Pileg mendatang. Saya kenal baik dengan dia dan saya yakin ia sosok yang pantas mengisi kursi. Ia punya kepedulian yang tinggi terhadap hak ibu dan anak. Kepedulian itu pula yang membuatnya menawarkan program-program yang berhubungan dengan ibu dan anak seperti cuti hamil, penyediaan ruang laktasi, sampai program penitipan anak yang terjangkau. <br />
<br />
Program yang peduli pada hak ibu dan anak itu bahkan sudah ia terapkan sendiri di perusahaan miliknya di mana memberikan cuti selama 6 bulan bagi karyawannya yang sedang hamil. <br />
<br />
Ia maju sebagai caleg DPR RI melalui PSI dapil kabupaten Tangerang, Kota Tangerang, dan Tangerang Selatan dengan nomor urut 2. <br />
<br />
Di dapil tempat saya bekerja, di Jogja, ada juga caleg yang saya kenal baik dan saya yakin ia mumpuni dan punya kecakapan yang layak untuk menjadi seorang wakil rakyat. Namanya Mbak Anggiasari. Ia maju sebagai caleg DPR RI melalui Partai Nasdem nomor urut 6 Dapil DIY. <br />
<br />
Sebagai seorang penyandang disabilitas yang selama ini aktif menjadi penggiat pembela hak kaum disabilitas, Mbak Anggiasari ingin sekali memperjuangkan hak-hak disabilitas melalui jalur parlemen. Menurutnya, kebijakan pemenuhan hak disabilitas tak akan bisa maksimal jika tak ada satu pun penyandang disabilitas yang duduk di parlemen. <br />
<br />
Dari dapil tempat tinggal saya sendiri, ada nama Mas Zainuddin. Dia kawan baik saya. Dia aktif di Laziznu, Lembaga Amil Zakat, Infaq, dan Shadaqah milik NU. Kerjaan dia seperti pendekar filantropi: bergerilya mencari orang-orang yang perlu dibantu dan bergerilnya mencari orang-orang yang mau membantu. <br />
<br />
Lelaki Boyolali yang kalau ngajak ketemu selalu saja dadakan ini maju sebagai Caleg DPRD Provinsi Jateng Dapil Jateng 8 (Kabupaten Magelang, Kota Magelang, Kab Boyolali) melalui bendera PKB Nomor urut 2. <br />
<br />
Selain tiga nama di atas, tentu masih ada sederet kawan-kawan saya yang lain yang maju sebagai caleg dan tidak bisa saya tulis satu per satu. Mereka punya kompetensi dan layak untuk dicoblos.<br />
<br />
Mereka inilah yang kelak akan saya coblos (kalau ndilalah satu dapil) tanpa keraguan, tak peduli dengan citra atau sepak terjang partainya yang mungkin punya cacat dan cela di mata saya.<br />
<br />
Sayangnya, tidak banyak orang yang bisa punya keberuntungan seperti saya karena kenal dengan orang-orang baik yang nyaleg. Banyak orang-orang yang buta tentang calon legislatif yang harus mereka pilih sehingga ketika berada di TPS, mereka mencoblos caleg dengan acak atau seenaknya.<br />
<br />
Nah, untuk itulah, saya mencoba memberikan tips sederhana memilih caleg untuk para pemilih yang blas nggak punya kenalan caleg yang baik dan bisa diandalkan.<br />
<br />
Ini panduan yang sangat obyektif. Jadi tentu saja sangat tidak otoritatif dan debatable alias demebat.<br />
<br />
Monggo disimak.<br />
<br />
<b>PILIH CALEG YANG BERASAL DARI DAPIL</b><br />
<br />
Setiap daerah punya kebutuhan dan masalahnya sendiri. Yang namanya wakil rakyat itu salah satu tugasnya adalah menjadi perantara masyarakat untuk menyampaikan masalah-masalah lokal agar bisa naik dan menjadi pertimbangan pada skup yang lebih tinggi. <br />
<br />
Maka, akan sangat bijak jika kita memilih caleg yang berasal dari daerah kita sendiri, sebab mereka setidaknya pasti lebih paham dengan kultur, sosial, dan budaya daerahnya.<br />
<br />
Jangan pilih caleg yang jangankan tinggal di dapil, lahir di dapil pun tidak. <br />
<br />
<b>PILIH CALEG YANG NGGAK BAWA-BAWA NAMA BESAR BAPAK ATAU KERABAT DEKATNYA<br />
</b><br />
Dulu sempat banyak kawan yang ngeshare soal foto spanduk kampanye Romy Bareno Ilyas, anaknya Karni Ilyas yang ternyata menjadi caleg DPR RI nomor urut 3, Dapil Jabar VI (Depok Bekasi) dari Partai PAN.<br />
<br />
Yang menjadi perhatian spanduk tersebut tentu munculnya foto sang bapak. Sebuah pertanda bahwa si anak sebenarnya tak terlalu pede dengan dirinya sendiri sehingga merasa perlu untuk mencantumkan foto bapaknya yang memang sudah kadung kesohor.<br />
<br />
Fenomena tersebut tentu saja adalah hal yang biasa. Di Indonesia, banyak orang2 yang ingin tampil, tapi ragu dengan dirinya dirinya, sehingga ia mendompleng nama besar orang-orang terdekatnya.<br />
<br />
Anak menggunakan kebesaran nama bapak tentu sah-sah saja. Bahkan kalaupun sebaliknya, itu juga sah-sah saja. Dulu, Rafflyn Lamusu sewaktu nyaleg lewat Partai Peduli Rakyat Nasional juga menebeng nama besar anaknya. Di spanduk kampanyenya, tertulis "Papanya Cyntya Lamusu".<br />
<br />
Di kampung halaman saya sendiri, salah satu cucu Jenderal Sarwo Edhie juga melakukannya. Ia memasang spanduk untuk mempromosikan dirinya sebagai seorang politisi dengan mendompleng nama besar kakeknya.<br />
<br />
Nah, caleg-caleg model begini sebisa mungkin jangan dipilih. Lha gimana, mereka tidak yakin dengan kemampuan mereka sendiri je. <br />
<br />
<b>PILIH CALEG YANG TERTIB MENGURUS IZIN SPANDUK<br />
</b><br />
Kita tak akan tahu bagaimana kelakuan dan ketaatan seorang caleg kalau ia sudah terpilih nanti. Tapi, hal ini bisa sedikit dilihat dari bagaimana ia menaati peraturan kampanye.<br />
<br />
Seorang caleg yang baik tentu akan mengupayakan kampanye yang baik dan tertib. Dan mengurus izin spanduk atau banner adalah hal pertama yang bisa dilakukan.<br />
<br />
Kalau Anda kebetulan lewat di jalan raya, dan melihat spanduk caleg yang sudah ditempel dengan tanda pengurusan izin spanduk, maka tandai dia. Setidaknya, mereka bisa dijadikan sebagai pilihan akhir jika Anda sudah sangat mumet dan pusing menentukan pilihan.<br />
<br />
<b>PILIH CALEG DARI PARTAI KECIL<br />
</b><br />
Caleg yang sedari awal memang berniat untuk cari duit tentu akan lebih memilih mencalonkan diri melalui partai yang sudah mapan, partai yang tentu punya kans untuk lolos ke parlemen. Bukan melalui partai yang kemungkinan lolos ke Senayannya kecil.<br />
<br />
Dari situ saja sudah bisa diihat, betapa menggunakan hak pilih untuk memilih caleg-caleg dari partai kecil adalah salah satu cara paling minimal untuk memperbaiki kondisi politik yang kotor dan menyebalkan.<br />
<br />
Dan lagi, kalau partai-partai kecil nanti bisa lolos ke senayan, maka perjuangan untuk menurunkan ambang batas parlemen tentu akan semakin menguat. Hal tersebut kemungkinan akan berpengaruh juga pada perjuangan menurunkan presidential threshold. Jika presidential threshold bisa diturunkan, misal dari 20 persen ke 10 persen, maka nantinya akan ada banyak calon presiden yang bisa bertarung. Bukan hanya dua seperti sekarang ini sehingga polaritas politik akan menjadi semakin berkurang.<br />
<br />
Nah, kalau ternyata nanti kita pilih caleg dari partai kecil, dan ternyata ia lolos, dan teryata ia korupsi atau sering mbolos, gimana?<br />
<br />
Itu urusan dia dengan Tuhan. Urusan kita sebagai rakyat hanyalah berusaha. Dan itu yang sudah kita lakukan. Sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya.<br />
<br />
<b>PILIH CALEG YANG BUKAN MANTAN KORUPTOR<br />
</b><br />
Banyak caleg mantan koruptor. Dan tugas kita yang selemah-lemahnya iman adalah berusaha untuk tidak mencoblos mereka.<br />
<br />
Bawaslu beberapa waktu yang lalu sudah mengedarkan daftar nama caleg mantan koruptor dari level DPR-RI sampai DPRD Kota-Kabupaten. Silakan dicari, dan tandai, siapa saja caleg mantan koruptor yang sesuai dengan dapil Anda.<br />
<br />
Kalau sudah tahu siapa saja, tandai, lalu pilih caleg siapa saja, pokoknya selain dia.<br />
<br />
Tapi kan dia sudah bertobat? Iya, mereka punya hak untuk bertobat. Dan kita juga punya hak untuk menghukum mereka dengan cara tidak memilih mereka.<br />
<br />
<b>PILIH CALEG DENGAN NOMOR URUT SELAIN 1<br />
</b><br />
Walaupun mungkin tidak semua, namun sudah bukan rahasia lagi bahwa caleg dengan nomor urut satu umumnya adalah elit partai, atau kerabat ketua umum partai, atau orang yang punya kepentingan yang besar terhadap partai. <br />
<br />
Cobalah pilih nomor selain 1, semakin buncit nomornya, semakin bagus, misal 2, 3, 4, dan seterusnya. <br />
<br />
Hehehe, monmaap ya Mbak Puan Maharani, Mas Ibas Yudhoyono, dan Mas Tommy Soeharto.Agus Mulyadihttp://www.blogger.com/profile/04176451251169164564noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-5167144612942352996.post-72096338413091202822019-02-15T00:03:00.000+07:002019-02-23T00:04:10.246+07:00Haru di Sekolah TeneraSelama dua hari terakhir ini, saya berada di tengah-tengah perkebunan sawit di daerah Pasar Sebelat, Kecamatan Putri Hijau, Bengkulu Utara, Bengkulu.<br />
<br />
Di provinsi yang terkenal sebagai tempat kelahiran mendiang ibu negara Fatmawati ini, saya mengajar menulis untuk anak-anak di SD, SMP, dan SMA Tenera. Sebuah sekolah swasta terpadu yang dibangun untuk memfasilitasi pendidikan anak-anak pekerja perkebunan sawit Pasar Sebelat.<br />
<br />
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi2dE2euvm2AixIPRSMEVe8gyglUoIa3gbefXYxcpaV19eh4rSZXIjW2tWpzXXyewRB-l0-bHBLuZf8DJo8GGx6MC-4IUKOnrbsngw4vtPn5aWA0c-CaE1WVGhUABw-fJNSwC2ydUXd4dg/s1600/IMG_0971.JPG" imageanchor="1" ><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi2dE2euvm2AixIPRSMEVe8gyglUoIa3gbefXYxcpaV19eh4rSZXIjW2tWpzXXyewRB-l0-bHBLuZf8DJo8GGx6MC-4IUKOnrbsngw4vtPn5aWA0c-CaE1WVGhUABw-fJNSwC2ydUXd4dg/s1600/IMG_0971.JPG" /></a><br />
<br />
Ini pengalaman pertama saya mengajar anak-anak di wilayah perkebunan sawit.<br />
<br />
Di sekolah Tenera ini, para siswa berasal dari latar belakang daerah yang beragam. Maklum saja, orangtua mereka memang sebagian besar adalah para perantau yang menggantungkan peruntungan sebagai pekerja perkebunan sawit.<br />
<br />
Ada anak-anak Jawa, Sunda, Batak, Palembang, dan beberapa yang lain. Diajak nyanyi lagu “Sayang opo kowe krungu” mereka bisa. Diajak nyanyi lagu “Makan daging anjing dengan sayur kol” mereka pun siap.<br />
<br />
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiuYVXRpdDjNq3vtQshEfpNDWsZlFoWSggLDWGnkxQ1_mqyOggZQWIUO2riCGw4jRJ3XeFhTYiS2U7oYtYAvtw7mTml1tNMK2v0PQWCc50otvHJeNW1Ni0K1cL0COJXbTZUBwcozPLcvgs/s1600/IMG_0974.JPG" imageanchor="1" ><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiuYVXRpdDjNq3vtQshEfpNDWsZlFoWSggLDWGnkxQ1_mqyOggZQWIUO2riCGw4jRJ3XeFhTYiS2U7oYtYAvtw7mTml1tNMK2v0PQWCc50otvHJeNW1Ni0K1cL0COJXbTZUBwcozPLcvgs/s600/IMG_0974.JPG" /></a><br />
<br />
Ada sensasi menyenangkan dan mengharukan saat saya mengajar di sekolah tersebut.<br />
<br />
Saya ingat, sesaat sebelum saya mulai mengajar anak-anak SMA, saya disambut oleh tarian daerah oleh para siswa. Saya juga dikalungi kalung bunga sebagai tanda penyambutan.<br />
<br />
Hal tersebut juga terjadi saat saya mengajar anak-anak SD dan SMP.<br />
<br />
Saya disambut dengan tari tor-tor dan diberi persembahan berupa hiasan bunga hasil karya para siswa. Tak cukup di situ, mereka juga mempersembahkan sebuah lagu untuk saya.<br />
<br />
Sungguh, ini pengalaman pertama saya memberikan kelas menulis dengan penyambutan yang begitu mengharukan.<br />
<br />
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjBHnenmzzeiFgOA_DDqJJ5zZhusN0YbXLahWH1ThxN0Cyi8hc5IF-SgIVUdtuiHqCjYQQ0jAnsTYHkfZTW9kMxYKCtYKjU0sCbKMa3AaleXTVCyaPq3_7sbONzmtUn2VbMy_uyHA71_IU/s1600/IMG_0973.JPG" imageanchor="1" ><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjBHnenmzzeiFgOA_DDqJJ5zZhusN0YbXLahWH1ThxN0Cyi8hc5IF-SgIVUdtuiHqCjYQQ0jAnsTYHkfZTW9kMxYKCtYKjU0sCbKMa3AaleXTVCyaPq3_7sbONzmtUn2VbMy_uyHA71_IU/s600/IMG_0973.JPG" /></a><br />
<br />
Satu yang paling saya ingat tentu saja adalah bagaimana cara mereka berdoa tiap sesi kelas selesai yang dipimpin oleh salah satu perwakilan siswa.<br />
<br />
Di sesi kelas pertama, saya masih ingat samar-samar bagaimana doa mereka.<br />
<br />
“Ya Allah, terima kasih hari ini engkau telah memberikan kami kesempatan untuk belajar. Dari awal, pertengahan, sampai kelas selesai. Terima kasih atas ilmu yang sudah engkau berikan kepada kami melalui Kak Agus Mulyadi. Berikanlah rahmat, rejeki, dan usia yang panjang untuk Kak Agus Mulyadi. Ya Allah, semoga engkau tak pernah lelah memberikan kami berkah. Subhanakallahumma wabihamdika…”<br />
<br />
Di sesi kedua, saya hampir tak bisa menahan air mata saya untuk keluar.<br />
<br />
“Terima kasih Yesus, terima kasih bapa atas penyertaanmu. Terimakasih sudah menyertai kami belajar dari awal, pertengahan, sampai kelas selesai. Hari ini kami belajar banyak dari Kak Agus Mulyadi. Terima kasih atas ilmu yang sudah engkau berikan. Jadikanlah kami menusia-manusia yang berilmu dan berguna. Kami manusia yang penuh dosa. Ampunilah dosa kami, dosa bapak Ibu guru kami, dosa Kakak Agus Mulyadi. Setelah ini, kami akan pulang ke rumah, berkumpul dengan keluarga kami. Sertailah perjalanan pulang kami. Dan berkahilah hidup kami. Di dalam nama Yesus kristus. Terima kasih, Bapa.”<br />
<br />
Tepat saat perwakilan siswa membacakan doa tersebut, mata saya mulai berair.<br />
<br />
Ingin rasanya saya membisiki anak-anak ini satu per satu: “Kalian hebat. Jangan jadi dewasa, mereka bangsat…”Agus Mulyadihttp://www.blogger.com/profile/04176451251169164564noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-5167144612942352996.post-24602175214690553012019-02-08T20:20:00.000+07:002019-03-08T20:20:39.231+07:00Salat Jumat yang TransaksionalSiang ini, saya dan kawan-kawan berangkat salat jumat di masjid tak jauh dari kantor. Hanya sepelemparan baru, ya benar-benar sepelemparan batu.<br />
<br />
Tujuan kami tentu saja bukan agar tampang kami jadi ganteng, sebab kami tetap percaya, semulia-mulianya air wudhu, ia tetap tak akan bisa mengubah wajah kami menjadi lebih rupawan.<br />
<br />
Buktinya, banyak kawan-kawan saya yang tak pernah salat tapi punya tampang yang cakepnya sporadis dan kolosal. Sebaliknya, saya punya banyak kawan yang rajin salat tapi punya tampang yang buluknya ngaudubillah setan.<br />
<br />
Masjid tempat kami salat selalu penuh oleh anak-anak Kecil dari kompleks perumahan sekitar.<br />
<br />
Maklum, setiap salat jumat, selalu ada suguhan aneka snack jaburan yang boleh diambil oleh para jamaah salat jumat. Ada jus jambu, ada susu kedelai, ada arem-arem, ada tahu bakso, ada bakpao, ada gorengan, dan sesekali waktu ada juga siomay kecil. Dan bisa ditebak, snack-snack ini biasanya lebih banyak dilarisi oleh anak-anak.<br />
<br />
Yah, kadang, saya dan kawan-kawan juga ikut berebut. Lumayan, gratisan ini.<br />
<br />
Begitu salat selesai, atau lebih presisinya, begitu salam selesai, maka anak-anak akan langsung gedebukan berebutan mengambil snack yang tersedia.<br />
<br />
Ada yang disiplin ambil satu, ada yang ambil dua, dan tak jarang ada pula yang nggragas dengan mengambil lebih dari dua.<br />
<br />
Snack-snack tersebut boleh dibilang cukup ampuh untuk menarik anak-anak agar mau berangkat salat jumat. Anak kecil memang acapkali butuh motivasi yang lebih dari sekadar iman. Butuh imbalan sesuatu agar ia mau beribadah.<br />
<br />
Jangankan anak kecil, orang dewasa pun sejatinya juga sama. Bedanya hanya soal imbalannya. Anak kecil hanya butuh arem-arem dan susu kedelai, sementara orang dewasa butuh janji masuk surga dan dihindarkan dari neraka.<br />
<br />
Sama-sama transaksional.<br />
<br />
Bahkan, pada titik tertentu, orang dewasa seperti kita jauh lebih tidak tahu diri. Dengan salat, anak Kecil cuma berharap sesuatu yang sederhana, sedangkan kita mengharapkan sesuatu yang nilainya jauh-jauh lebih dari sekadar imbalan untuk gerakan tubuh yang bahkan durasinya tak sampai lima menit itu.<br />
<br />
Sampai di parkiran samping, saya dan beberapa kawan kantor tak langsung masuk masjid.<br />
<br />
“Bentar, dikit lagi…” kata Kuntet sembari menunjukkan rokoknya yang tampak masih setengah batang.<br />
<br />
“Iyo, nongkrong dilit, toh dari sini khotbahnya juga kedengaran jelas,” tukas Ega Balboa, si ilustrator Mojok.<br />
<br />
Saya yang imannya masih sangat lemah mau tak mau ikut apa kata dua sobat saya itu.<br />
<br />
Tak berselang lama, Ega beranjak dan berjalan cepat masuk masjid.<br />
<br />
Saya kemudian berdiri dan menyusulnya. Namun, belum juga saya sempat menyusulnya, Ega sudah muncul kembali.<br />
<br />
Dari tangannya, ia membawa sebungkus siomay dan susu kedelai.<br />
<br />
“Heh, goblok. Itu snack buat diambil setelah salat, bukan buat diambil sekarang!” Kata saya memperingatkan Ega.<br />
<br />
Si goblok yang sudah saya kenal sejak SMA ini kemudian menjawab diplomatis.<br />
<br />
“Kalau ngambilnya setelah salat, pasti sudah kehabisan soalnya harus rebutan sama anak-anak. Kalau diambil sekarang kan lebih mudah,” terangnya sambil prengas-prenges dan mulai membuka bungkus siomay dan menyantapnya.<br />
<br />
“Woooo, kenthiiiiir!!!”<br />
<br />
“Salat itu yang penting khusyuk, Gus. Lha daripada nanti aku salat sambil kepikiran siomay sama susu kedelai, mending tak ambil sekarang, biar nanti pas salat bisa khusyuk dan tenang!”<br />
<br />
Ah, orang dewasa. Sudahlah transaksional, nggragas pula.Agus Mulyadihttp://www.blogger.com/profile/04176451251169164564noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-5167144612942352996.post-88171024639482583962018-12-25T17:57:00.002+07:002018-12-25T17:57:15.758+07:00Keseimbangan Cosmis Desa dan KotaPemandangan hijaunya sawah dengan aliran sungai yang bening dan menyejukkan itu bagi banyak orang desa tentu adalah hal yang biasa. Hal yang memang sudah sehari-hari menjadi makanan mereka.<br />
<br />
Namun bagi banyak orang kota, hijaunya hamparan sawah yang bikin hati tenteram itu adalah pemandangan yang tentu saja jarang dilihat oleh mata mereka yang lebih terbiasa melihat hamparan gedung beserta orang-orangnya yang serba bergegas di jalanan. <br />
<br />
Bagi banyak orang-orang desa, menanam padi, memandikan kerbau, bersepeda onthel di jalanan kampung atau berjalan-jalan seturut pematang sawah adalah pekerjaaan sehari-hari. Namun bagi orang-orang kota, aktivitas tersebut adalah bagian dari paket outbond yang harganya kadang tak bisa dinalar oleh akal pedesaan.<br />
<br />
Maka, tak heran jika kemudian pemandangan-pemandangan seperti itu, lengkap dengan segala aktivitasnya banyak “dikomersilkan” menjadi dagangan. Banyak tempat wisata, rumah makan, juga penginapan, yang menjual “kedesaan”-nya.<br />
<br />
Mungkin memang begitulah seharusnya. Semata agar keseimbangan kosmis tetap terjaga. Orang-orang desa yang selalu menganggap kota sebagai entitas yang modern, maju, dan serba gemerlap itu harus sadar, bahwa di kota, ada banyak orang-orang yang mau membayar mahal untuk bisa menjadi “orang desa” barang sehari dua.<br />
<br />
Orang kota tak pantas jumawa, orang desa pun harus sadar bahwa dirinya diberkahi dan berdaya.Agus Mulyadihttp://www.blogger.com/profile/04176451251169164564noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-5167144612942352996.post-75734419431588997172018-06-16T23:39:00.003+07:002018-06-16T23:39:52.566+07:00Pertanyaan LebaranEntah kenapa, di hari lebaran ini, di media sosial, banyak yang baper dengan aneka pertanyaan-pertanyaan menyebalkan dari sanak, saudara, dan kerabat. Pertanyaan yang, dianggap terlalu mencampuri urusan pribadi padahal sebenarnya biasa saja dan sama sekali tidak perlu dirisaukan.<br />
<br />
Kapan nikah, kapan lulus, kok dari dulu nggak naik pangkat, sekarang kok tambah subur saja badannya, kok masih sendirian aja, dsb, dsb.<br />
<br />
Keluarga, utamanya yang sudah lama tak berjumpa fisik, sering kali memang kehabisan bahan untuk berbasa-basi, sehingga pertanyaan-pertanyaan model begitu kerap menjadi ban serep yang paling ampuh.<br />
<br />
Sayang, beberapa orang mungkin memang terlalu perasa atau memang tidak terlalu bisa menangkap hal tersebut.<br />
<br />
Di facebook, tak sedikit yang menuliskan rasa sebalnya karena oleh tante-tantenya ditanya “Kapan nikah?”<br />
<br />
Dengan kejam (untuk tidak menyebutnya bengis), mereka menganggap tante mereka tak punya etika, menyebalkan, dan aneka sematan buruk lainnya.<br />
<br />
Padahal jika dilihat dari sudut yang berbeda, pertanyaan itu, di luar bahan basa-basi, bisa juga merupakan salah satu bentuk verbal kepedulian mereka pada keponakan-keponakannya.<br />
<br />
Dengan bertanya kapan nikah, itu menjadi bukti bahwa mereka ikut bersuka-cita kalau kita menikah.<br />
Tapi kan menikah itu urusan kita sendiri, bukan urusan mereka?<br />
<br />
Urusan kita sendiri <i>gundulmu</i>. Tantemu, bulikmu, paklikmu, budemu, embahmu, kerabat dekatmu, semua berhak punya urusan pada pernikahanmu. Mereka orang pertama yang bakal <i>sambatan</i>, yang bakal <i>cawe-cawe</i>, yang bakal menyumbang tenaga dan (mungkin) harta paling besar demi lancarnya acara resepsimu.<br />
<br />
Orang-orang terdekatmu, keluargamu, kerabatmu, selalu punya andil yang besar pada hidupmu.<br />
<br />
Beda soal kalau yang tanya itu bukan keluargamu. Kalau yang ini, kamu jawab dengan judes pun silakan. Bahkan kalau perlu, digas sekalian, misal pas mereka nanya “Kapan nikah?” jawab saja, “Entar ah, masih pengin freesex!” Hahaha.<br />
<br />
Dulu saya punya bulik yang sering sekali bertanya soal sekolah saya. Nilai saya bagus apa tidak, di sekolah dapat ranking berapa? Dsb, dsb.<br />
<br />
Pada titik tertentu, pertanyaan-pertanyaan tersebut mungkin terlihat sangat mengganggu, utamanya jika saya ternyata adalah murid yang goblok dengan lebih banyak nilai di raport yang berwarna merah ketimbang biru.<br />
<br />
Namun belakangan baru saya ketahui, bulik saya itulah yang, dulu saat orangtua saya kesulitan membayar uang sekolah, ikut membantu membayarkan uang sekolah saya. Dia bahkan pernah menjual ali-ali emas miliknya demi meminjami orangtua saya uang untuk saya masuk ke SMA.<br />
<br />
Dengan fakta tersebut, kalau kemudian saya menganggap pertanyaan2 bulik saya adalah pertanyaan yang tidak sepantasnya, maka betapa kurangajarnya saya.<br />
<br />
Keluarga adalah tembok terdekat dalam lingkaran kehidupan kita. Jangan pernah membangun jarak dan perasaan-perasaan yang tidak perlu.<br />
<br />
Di hari lebaran, kebersamaan dengan keluarga jauh lebih mahal ketimbang sekadar rasa baper oleh pertanyaan-pertanyaan yang dianggap membosankan dan menyebalkan itu.<br />
<br />
Percayalah, mereka bukan sekadar bertanya kapan nikah, lebih dari itu, mereka juga berharap dan bahkan ikut mendoakannya.Agus Mulyadihttp://www.blogger.com/profile/04176451251169164564noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-5167144612942352996.post-12452775612595879772018-06-14T23:52:00.000+07:002018-06-16T23:53:58.303+07:00Memaknai MudikRamadhan sudah hampir selesai. Jumlah saf salat tarawih sudah mulai berada di angka yang memprihatinkan. Orang-orang mulai sibuk mempersiapkan mudik. Sebuah migrasi besar-besaran yang kerap menjadi semacam tantangan terbuka bagi Pemerintah. Ia menjadi parameter sukses atau tidaknya seorang Menteri Perhubungan dalam menjalankan tugas.<br />
<br />
Puncak amalan ramadhan adalah zakat fitrah, sedang puncak kulturalnya adalah mudik. Keduanya adalah dua entitas yang berbeda, namun sama-sama punya satu misi: penyucian.<br />
<br />
Mudik, bagi banyak orang adalah perjalanan panjang menuju hari yang baru. Ia jauh lebih punya makna ketimbang sekadar perjalanan menuju alun-alun di malam tahun baru untuk menonton indahnya kembang api. Sebagai sebuah perjalanan, mudik adalah salah satu perjalanan yang paling pantas untuk diperjuangkan. Harga tiket boleh mahal, kondisi transportasi boleh amburadul, bekal pun boleh tak seberapa, namun begitu, mudik harus tetap jalan. <br />
<br />
Mudik menjadi ritual yang sangat berarti, sebab ia memang menjadi ajang pelarian yang paling menyenangkan. Ia semacam pengikis endapan segala rupa yang serba menyedihkan di rantau: angkuhnya kota, galaknya atasan, menyebalkannya rekan kerja, egoisnya gaya hidup urban, dan segala pergulatan-pergulatan buruk lainnya. <br />
<br />
Di kota, menusia tumbuh menjadi manusia yang tidak manusia. Ia tumbuh pada kultur yang sangat bukan dirinya. Lingkungan yang jauh dari guyubnya desa, tuntutan pekerjaan yang kejam dan sering tidak beperikemanusiaan, pergaulan yang terlalu showbiz, mau tak mau membuat banyak manusia lupa akan identitasnya. Di kota, manusia hidup dengan sangat mekanis.<br />
<br />
Mudik jadi punya posisi yang penting, sebab ia menawarkan terapi yang paling tokcer untuk mengembalikan manusia pada kediriannya. Bertemu dengan keluarga, kerabat, sanak-saudara, di tempat yang begitu hangat, dengan makanan yang terasa akrab di lidah.<br />
<br />
Mudik menjadi pembuktian paling hakiki, bahwa semaju dan sesukses apa pun seseorang di rantau, ia tetaplah anak ingusan dari kampung halaman. <br />
<br />
Pada akhirnya, momen mudik lebaran memang menjadi laku yang begitu emosional. Perjalanan kembali ke kampung halaman itu tak hanya menarik kita kepada kenangan-kenangan nostalgik yang semakin hari semakin terkikis. Lebih dari itu, ia mengedarkan ingatan pada halaman rumah di mana kita biasa bermain gundu, pohon di mana kita dulu terbiasa mencuri rambutan, atau sungai di mana kita dulu sering mandi telanjang bersama kawan-kawan.<br />
<br />
Perjalanan kembali itu menjadi begitu suci, ia tak ubahnya seperti ritual haji, dengan rumah sebagai kakbahnya, yang terus saja kita pandangi, dan telapak tangan ibu kita sebagai hajar aswatnya, yang tak henti-hentinya kita ciumi.<br />
<br />
Kita semua boleh saja menunaikan sholat subuh di masjidil haram, sholat dhuhur di mushola kecil di salah satu sudut pusat perbelanjaan, sholat ashar di rest area tepi jalan pantura, sholat maghrib di masjidil aqsa, sholat isya di kamar kosmu yang bau dan butut, atau sholat tarawih di pelataran Monas. Tapi khusus untuk sholat Ied, kita semua sepertinya sepakat, bahwa tempat terbaik untuk menunaikannya adalah di halaman masjid di kampung kelahiran kita sendiri.<br />
<br />
Untuk kalian yang sudah mudik, selamat bernostalgia. Nikmati mudikmu. Tuntaskan rindumu, dan syukuri lebaranmu. Di luar sana, ada banyak orang yang terpaksa menangis sedih sebab tak bisa pulang ke kampung halaman.<br />
<br />
Sebuah fragmen tak terbayangkan, yang oleh Didi Kempot dilantunkan dengan begitu sentimentil dalam tembangnya “Tulisan Tangan”<br />
<br />
<i>“Udan-udan dalane lunyu… </i><br />
<i>“Lintange ndelik mbulane turu…</i><br />
<i> “Langite mendung ing wanci ndalu… </i><br />
<i>“Nambahi kangene atiku… </i><br />
<i>“Sworo takbir ngelingke aku… </i><br />
<i>“Pengin nangis jroning batinku… </i><br />
<i>“Karep mulih ora nduwe sangu… </i><br />
<i>“Ra biso sungkem romo lan ibu…</i>Agus Mulyadihttp://www.blogger.com/profile/04176451251169164564noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-5167144612942352996.post-30111609158984561182018-02-12T07:55:00.001+07:002018-02-12T07:55:28.430+07:00Dilan dan Standar RomantismeUntuk ukuran anak SMA, memberikan hadiah berupa bunga sebenarnya adalah salah satu bentuk puncak romantisme yang mungkin bisa diciptakan dan diusahakan.<br />
<br />
Hal tersebut bertahan sangat lama. Hingga kemudian, Dilan hadir dan mengacaukannya. <br />
<br />
Perangai dan gerak-gerik romantisme yang Dilan bawa membuat standar romantis anak-anak SMA terkerek terlalu tinggi.<br />
<br />
Untuk jadi cowok SMA romantis, kau harus seperti Dilan. Yang bisa nggombal dengan receh, yang bisa meluncurkan kata-kata manis, dan yang bisa memberikan buku TTS yang sudah ada isinya.<br />
<br />
Kalau kau hanya bisa memberi bunga, maka kau tak ubahnya seperti Nandan, Beni, ataupun Kang Adi.<br />
<br />
Dan kita tahu, baik Nandan, Beni, maupun Kang Adi, ketiganya merana dan kalah dengan caranya masing-masing.<br />
<br />
Ya Tuhan, semoga adek-adek cewek yang masih pada SMA itu sadar diri dan tak terlalu berharap menjadi Milea. Sebab kasihan mereka kalau sampai kecewa karena lelakinya tak seromantis Dilan.Agus Mulyadihttp://www.blogger.com/profile/04176451251169164564noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-5167144612942352996.post-80965075299235718832017-12-12T21:45:00.002+07:002017-12-12T21:46:24.950+07:00Komedian Banting HumorJauh sebelum Kiwil berubah dari pelawak menjadi penceramah. Kirun sudah lebih dulu punya pengalaman itu. Bahkan, kalau mau menarik benang lebih jauh, Junaedi, legenda dagelan mataram yang namanya hanya kalah kondang dari Basiyo itu juga menjadi penceramah sebelum akhirnya menutup usia.<br />
<br />
Apakah salah seorang pelawak memberikan ceramah dan tausyiah? Tentu saja tidak. Tak ada yg salah. Lha wong dasarnya jelas, sampaikanlah walau hanya satu ayat.<br />
<br />
Yang salah itu kalau kemudian dengan mudah menahbiskan diri atau orang lain sebagai ustad, padahal kapasitas keilmuannya meragukan dalam agama.<br />
<br />
Legitimasi berbicara tentang agama tanpa ilmu kadang jauh lebih berbahaya dari apapun.<br />
<br />
Dan kita sering melakukannya.Agus Mulyadihttp://www.blogger.com/profile/04176451251169164564noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-5167144612942352996.post-74841104084226181722017-11-29T20:48:00.002+07:002017-11-29T20:48:28.531+07:00Penulis HebatSaya ingat betul dengan nasihat seorang penulis yang sangat saya segani. Sebut saja namanya Jumadi. Kata belio, kalau ada penulis yang dikit-dikit ngutip tokoh A, dikit-dikit ngutip tokoh B, dikit-dikit ngutip filsuf A, dikit-dikit ngutip filsuf B, maka dia bukanlah penulis hebat. <br />
<br />
Pas saya tanya apa alasannya, jawaban dia, eh, maksud saya belio sangat masuk akal, "Penulis hebat itu dikutip, bukan mengutip. Penulis hebat itu menciptakan gagasan, bukannya mendompleng gagasan orang lain"<br />
<br />
Begitulah. Sejak saat itu, saya mulai membulatkan tekad untuk menjadi seorang penulis hebat. Yang tulisannya dikutip oleh banyak orang. Dan ya, jalan menuju menjadi penulis hebat itu saya mulai dengan mengutip apa kata Jumadi.Agus Mulyadihttp://www.blogger.com/profile/04176451251169164564noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-5167144612942352996.post-90080935562396240492017-11-01T16:28:00.001+07:002017-11-01T16:28:10.674+07:00Politik Taek KucingPada heboh soal wacana koalisi PKS dan PDIP di pilgub Jabar. Seolah-olah mereka lupa bahwa dulu tahun 2010 PKS dan PDIP satu koalisi mengusung Jokowi dan FX Hadi Rudyatmo pada pemilihan wali kota Solo dan meraih kemenangan gemilang dengan perolehan suara sebanyak 90,09 persen dan hanya kalah di satu TPS dari 932 TPS yang ada.<br />
<br />
Jelas menang telak, soalnya dulu Jokowi tidak diserang dengan tuduhan PKI dan Rudy juga tidak diserang menggunakan Al Maidah 51 karena dia nasrani.<br />
<br />
Pada akhirnya, politik memang soal taek kucing, sebab dalam politik, satu-satunya yang konsisten adalah inkonsistensi.<br />
Agus Mulyadihttp://www.blogger.com/profile/04176451251169164564noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-5167144612942352996.post-39586492949344392332017-10-18T15:59:00.001+07:002017-10-18T15:59:34.562+07:00Ahok, Djarot, Anies, Sandi, dan SyahriniPendukung Ahok-Djarot boleh sedih karena Ahok kalah, namun mereka juga seharusnya senang karena mereka tak punya beban moral atas kesalahan yang mungkin kelak akan diperbuat oleh Anies dan Sandi.<br />
<br />
Begitupun pendukung Anies-Sandi, mereka boleh senang karena jagoannya menang, tapi di balik kemenangannya itu, mereka juga patut was-was sebab kalau Anies-Sandiaga membuat langkah yang dinilai tidak strategis di mata publik, maka mereka bakal ikut menanggung bullyan-nya, “Gubernur pilihan lo, tuh!”<br />
<br />
Sungguh, betapa adilnya dunia ini. Semua diberikan rasa senang, lega, sedih, dan khawatir dalam porsinya masing-masing.<br />
<br />
Jadi, mari berhenti saling menyalahkan. Mulailah menjadi fansnya Syahrini yang mau ngapain saja tetap cantik. Maju cantik, mundur pun cantik.Agus Mulyadihttp://www.blogger.com/profile/04176451251169164564noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-5167144612942352996.post-64477747508067384252017-10-15T18:22:00.000+07:002017-11-04T18:23:08.516+07:00Membayangkan Jokpin KayangKemarin bersama pak Jokpin dan bu Emma mengisi seminar kebahasaan di Undip dalam rangka perayaan bulan bahasa.<br />
<br />
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjmjLKXOMy4-9MI12ToNX9KqNgAPrUAFTEKw56v0umIF3m3tYLDqLOiSB86Zv26TtbI9OR7BQZsIbm2lBace5STXCU8pCdplvQHa78DP5olpoWel7ssPHf3zP7p8d_r1JwDdzi3SIWso2E/s1600/agus+jokpin.jpg" imageanchor="1"><img alt="agus mulyadi joko pinurbo" border="0" data-original-height="853" data-original-width="1280" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjmjLKXOMy4-9MI12ToNX9KqNgAPrUAFTEKw56v0umIF3m3tYLDqLOiSB86Zv26TtbI9OR7BQZsIbm2lBace5STXCU8pCdplvQHa78DP5olpoWel7ssPHf3zP7p8d_r1JwDdzi3SIWso2E/s1600/agus+jokpin.jpg" title="agus mulyadi joko pinurbo" /></a><br />
<br />
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiLBG5WIKRvFgFmirpnrTUBGePeTTfCr59vLPNilmLPgFVKe6AnE8vtQmeN9Xn6hqgAj7_mHk7VewLcjLZGgVTjax8AD5eyP2agvMWKXUCTrMavZ4VEd1ylaAowqSX2L-nL-ONvvqOKmSU/s1600/agus+ngomong.jpg" imageanchor="1"><img border="0" data-original-height="853" data-original-width="1280" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiLBG5WIKRvFgFmirpnrTUBGePeTTfCr59vLPNilmLPgFVKe6AnE8vtQmeN9Xn6hqgAj7_mHk7VewLcjLZGgVTjax8AD5eyP2agvMWKXUCTrMavZ4VEd1ylaAowqSX2L-nL-ONvvqOKmSU/s1600/agus+ngomong.jpg" /></a><br />
<br />
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhpg-BkL4Ytp23jDUToc_3q6v7ifu88VuQdf7sN5Cm0btD4_ktPK8G9SeoyK7HHCOgjS5YtAf34GsJXAf6v9n7cPKww7az4moDX41pyBnxHj8idsw_yj3LYslxRTziLDWcGQlz1e-EX4w4/s1600/agus.jpg" imageanchor="1"><img border="0" data-original-height="853" data-original-width="1280" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhpg-BkL4Ytp23jDUToc_3q6v7ifu88VuQdf7sN5Cm0btD4_ktPK8G9SeoyK7HHCOgjS5YtAf34GsJXAf6v9n7cPKww7az4moDX41pyBnxHj8idsw_yj3LYslxRTziLDWcGQlz1e-EX4w4/s1600/agus.jpg" /></a><br />
<br />
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjsG6rC1iamjBlWYNAIIWVKhUlbZWmYkkanD9KQJ1p-is9kyi8c-gQ5J20J7Z2qKG3j644oudGyTGIKBvWyBHqWbYwz-fNsbyEVAid7FBweF-BjEreatQVbTMvpovpCcuQ8JzXouiWR57E/s1600/seminar.jpg" imageanchor="1"><img border="0" data-original-height="853" data-original-width="1280" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjsG6rC1iamjBlWYNAIIWVKhUlbZWmYkkanD9KQJ1p-is9kyi8c-gQ5J20J7Z2qKG3j644oudGyTGIKBvWyBHqWbYwz-fNsbyEVAid7FBweF-BjEreatQVbTMvpovpCcuQ8JzXouiWR57E/s1600/seminar.jpg" /></a><br />
<br />
Di tengah acara, kami dihibur perform pembacaan puisi oleh mahasiswa yang dibacakan sambil kayang dan mbrangkang ala-ala akrobat sirkus.<br />
<br />
Saya pikir, Jokpin bakal ikut membaca puisi sambil kayang dan mbrangkang juga, ternyata tidak.<br />
<br />
Di mobil, saya iseng tanya, "Pak Joko, kok tadi <i>njenengan</i> nggak ikut baca puisi sambil kayang?"<br />
<br />
Belio menjawab, "Dari dulu jaman sekolah, nilai penjaskesku itu selalu bagus, semua gerakan aku bisa, kecuali satu, kayang."<br />
<br />
Saya pengin jawab "Tapi <i>nek mbrangkang</i> lak bisa tho, pak?" tapi saya urungkan. Saya terlalu geli untuk membayangkannya.Agus Mulyadihttp://www.blogger.com/profile/04176451251169164564noreply@blogger.com